(Waspadalah, Feodalisme ada di mana-mana)
Salah satu problematika yang cukup menonjol dari banyak realitas yang mengemuka di tanah air, adalah belum terselesaikannya proses transformasi nilai budaya sosial budaya politik yang berlatarkan bekas negara lama (kerajaan, kedatuan, kesultanan dan lain-lain) menuju nilai budaya demokrasi yang lebih egaliter. Jika ingin merujuk kepada substansi nilai budaya yang dianut oleh masyarakat dalam konteks itu, maka sesungguhnya akan dapat dipahami bahwa mungkin tidak terjadi goncangan yang berarti dalam proses transformasi yang sedang berlangsung itu, di masa lalu - masa kini - dan barangkali di masa datang.
Meskipun demikian, memang harus diakui, bahwa ada riak-riak yang cukup dirasakan, namun memerlukan pencermatan yang lebih intensif untuk menemukan hubungan sebab akibat realitas tersebut dengan pergumulan transformasi budaya lama ke budaya baru yang diakibatkan pada pilihan demokrasi dalam bernegara dan berbangsa. Dalam beberapa rujukan akademis yang ada, "feodalisme" yang dicurigai sebagai salah satu kelemahan sistem monarkhi seperti yang dianut negara-negara lama yang berbentuk kerajaan di negeri ini. Cukup banyak stigma seperti ini yang ditujukan kepada masyarakat yang berlatar budaya bekas negara-negara di masa silamnya.
Michael Prestwich, dari University of Durham, mengatakan bahwa feodalisme diambil dari bahasa Latin feudum (tanah yang dimiliki oleh para ksatria sebagai imbalan atas jasa-jasanya membela penguasa atau raja selama 40 hari atau lebih). Dengan kekuasaan para bangsawan penguasa seperti itu, maka mereka dapat mengatur segalanya. Menurutnya, definisi mengenai feodalisme sangat sulit dicapai, karena telah diketahui bahwa tidak ada masyarakat yang sepenuhnya bersifat feodal.
Lebih jauh dikatakannya, bahwa kebanyakan argumen para ilmuwan mengenai feodalisme bersumber dari kegagalan mereka untuk menyepakati suatu definisi yang pasti. Untuk sekedar mengekspresikan hubungan para bangsawan kesatria dan para petani yang menjadi bawahannya di Eropa pada abad pertengahan, istilah feodalisme bisa diterima, namun istilah itu tidak bisa diterapkan begitu saja di tempat-tempat dan periode lain. (Baca Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Adam Kuper & Jessice Kuper, Terjemahan Haris Munandar dkk. - Rajawali Press, Jakarta, 2008.)
Antara lain didapatkan kesimpulan dari segelintir pihak, bahwa nilai-nilai feodalisme merupakan warisan dari negara-negara kerajaan yang ada pada jaman dahulu di nusantara, lalu diambil alih oleh para penjajah, kemudian terjadi revolusi kemerdekaan yang sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan feodalisme yang ada pada diri manusia Indonesia.
Bagi mereka, sikap-sikap feodal ini bersifat destruktif dikarenakan seorang bawahan akan menganggap mereka yang lebih tinggi dari mereka adalah benar dalam setiap tindakannya. Ketidakbolehan untuk menyangkali, walau itu salah sekalipun merupakan salah satu keburukan dari feodalisme, selain itu juga menghancurkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain.
Seperti yang banyak dicontohkan Muchtar Lubis (Manusia Indonesia, 1978) dan sejumlah pengamat lainnya, bahwa dalam kehidupan sehari-hari pada dalam jaman sekarang dimana seorang bawahan dikatakan tidak sopan jika menegur atasan karena alasan yang benar, merupakan suatu bentuk dari feodalisme. Tidak didengarnya suara mereka yang ada dibawah sebagai suara manusia, juga merupakan bentuk nyata dari feodalisme yang terjadi pada manusia Indonesia. Hanya saja kerajaan yang dimaksud sudah bukan raja atau datu lagi sebagai pemimpin, namun raja-raja tersebut sudah diganti namanya menjadi presiden, menteri, jenderal, presiden direktur dan lainnya.
Dalam suatu tulisannya di situs Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) - 29 April 2008 , Yansen (2008), justru meletakkan kerangka pandangan sebagai pertemuan dua aliran tata nilai yang melahirkan banyak paradoks, yang disebutnya sebagai suatu anomali. Menurutnya, bahwa dalam khazanah sosiologis kita, setelah bangsa Indonesia berkembang pesat, struktur pemikiran feodal tidaklah hilang dari logika budaya bangsa. Feodalisme katanya, telah menjadi pola dasar (archetypes), dengan meminjam istilah Carl Gustaf Jung, telah mengendap dalam alam bawah sadar kita. Ia pun tak jadi mudah dihilangkan hanya dengan mencoba menerapkan sistem kebudayaan baru. Jadi, tanpa mengubah fundamental budaya yang feodalistis dan patronis, demokrasi tidak akan memberikan hasil positif bagi bangsa ini.
Pengajar pada Universitas Bengkulu yang sedang belajar di Australia ini, dalam tulisannya berjudul "Anomali Demokrasi Indonesia" menyatakan bahwa sejarah menunjukkan pemimpin formal seperti Indonesia sering kali menjalankan kekuasaan tanpa kritik. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas bahkan tak terkendali. Tapi, secara jujur harus diakui, sedikit banyak feodalisme merupakan bagian kebudayaan timur. Lebih jauh dikenali olehnya, bahwa oleh pendukung teori-teori sosial Barat, hal ini banyak dikritik. Demokrasi kemudian dianggap sistem paling ampuh dan ideal dalam pengaturan hierarki kepemimpinan masyarakat. Walhasil, demokrasi pun dijajakan, bahkan dipaksakan ke semua bangsa. Indonesia modern pun menerima demokrasi. Maka kemudian, Soekarno dan Soeharto menerapkan demokrasi semu. Jadi, katanya, demokrasi dimanipulasi dan dijadikan senjata memperkuat patronisme.
Menurutnya, demokrasi kemudian semakin mendapat tempat di negara ini. Bahkan, Yansen menilai bahwa sekarang ini, sedang bergerak kembali kepada demokrasi dalam bentuk aslinya. Semua dipilih secara langsung. Sesuatu yang tidak terjadi di negara "kampiun" demokrasi sekalipun. Tapi, apakah setelah itu secara mental pemimpin-pemimpin yang terpilih terbebas dari feodalisme? Apakah mereka terbebas dari pikiran bahwa mereka mempunyai kekuasaan sepenuhnya pada masyarakat sehingga bisa memanipulasi keinginan-keinginan akar rumput (grass root)? Ternyata tidak.
Secara lugas, Yansen menegaskan, bahwa inilah anomali pertama demokrasi di dunia ketiga seperti di Indonesia adalah: demokrasi dan feodalisme bisa hidup di bawah satu atap. Sedangkan anomali kedua, demokrasi tidak berbanding linier dengan kesejahteraan. Dengan amanat langsung dari rakyat, pemimpin akan mempunyai legitimasi sangat besar untuk dapat membawa rakyat ke arah yang lebih baik. Kegagalan akan berakibat pada dicabutnya mandat dari rakyat. Tapi, apa yang akan terjadi? Demokrasi pun kemudian bahkan berbanding terbalik dengan kesejahteraan.
Dalam hitungan Yansen, keuntungan yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya besar yang dikeluarkan. Demokrasi kita pun menjadi demokrasi biaya tinggi. Akhirnya, pada gilirannya nanti, orang pun akan lelah dengan demokrasi. Diingatkan juga, bahwa dalam iklim demokrasi dengan anomali seperti ini, feodalisme bahkan menemukan bentuknya yang paling berbahaya. Itu akan menjadi berbahaya ketika pemimpin yang memiliki jiwa otoriter dan manipulative, ternyata terpilih secara demokratis. Ujungnya, mereka merasa mempunyai legitimasi yang sangat kuat. Dengan legitimasi itu, para pemimpin tersebut besar sekali peluangnya melabrak etika dan fatsun politik, melanggar aturan, bahkan melakukan tindakan koruptif dan manipulatif.
Bagi Yansen, demokrasi adalah "barang baru" bagi bangsa ini. Menerima mentah-mentah demokrasi tanpa proses pembelajaran dan pengenalan lebih baik adalah sama dengan menggali kubur sendiri. Karena itu, pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Pemahaman yang utuh dan disertai perubahan sikap pandang merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk mendapat manfaat dari demokrasi. Partai politik dan para pemimpin politik harus menjadi inisiator pembelajaran politik masyarakat.
Dari kajian-kajian tersebut, secara nyata sekali dapat disimpulkan dengan suatu penyederhanaan, bahwa feodalisme memang telah menghambat proses perkembangan manusia dikarenakan tidak sampainya kritik terhadap pemimpin seperti yang dimaksudkan itu, dikarenakan dua hal yaitu adanya fenomena bawahan yang segan dalam melakukannya dan pemimpin yang tidak mau mendengar suara dari bawah. Fokus terhadap feodalisme, tampaknya selama ini, memang banyak diarahkan kepada perilaku dan hubungan antara bawahan dan atasan.
Dengan demikian, dalam kompleksitas permasalahannya, diketahui bahwa selain dari upaya keras untuk melakukan pembelajaran demokrasi sebagai pilihan konstitusional berbangsa dan bernegara, guna peningkatan kapasitas warga masyarakat dan para pemimpinnya dalam melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten. Di lain pihak, memang diperlukan tekad yang kuat dan langkah-langkah nyata untuk segera memulai gerakan "defeodalisasi" yang selayaknya dipelopori oleh para pemimpin yang getarannya menyentuh seluruh pelapisan sosial yang ada.
Istilah yang cukup menarik ini digunakan oleh para mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) saat menyambut pergantian rektor periode 2009-2014, untuk mewakili kegusaran berbagai kalangan yang cukup meluas tentang bahaya neo-feodalisme yang telah memasuki ruang publik, institusi masyarakat dan bahkan ruang keluarga. Perilaku feodal yang dianggap kontra produktif terhadap perjalanan hidup berbangsa dan bernegara, meskipun ketatanegaraan telah memasuki perubahan dari sistem monarkhi yang melekat pada sistem ketatanegaraan dari masa silam di nusantara, menuju alam demokrasi yang berciri egaliter.
Dalam Kompasiana, Jumat 16 Oktober 2009, Kusmayanto Kadiman (Menteri Negara Riset dan Teknologi) menuliskan kritiknya dalam judul "Gelar Akademik - Neo Feodalisme" dengan merujuk pada pidato kebudayaan Umar Kayam dalam Seri Dialog Kebudayaan II yang diselenggarakan LSAF di Gedung YTKI - Jakarta (1997) yang menyatakan bahwa semangat egaliterisme dan sistem kekuasaan demokratis merupakan kesepakatan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945, meskipun feodalisme masih juga tak kunjung luntur dari keseharian masyarakat kita.
Dalam era kekinian, memang dirasakan sedang terjadi transformasi budaya dalam bentuk pergumulan tata nilai yang cukup terasakan di berbagai bidang kehidupan. Yang cukup menarik, adalah seiring dengan memudarnya gaya kepemimpinan feodalis lama, justru muncul fenomena gaya hidup feodalistik yang baru dan dirasakan telah mulai mengisi ruang publik maupun ruang private (pribadi atau keluarga) dalam alam demokrasi yang sedang berkembang di wilayah ini.
Sangat dirasakan kemunculan gaya feodalisme baru di kantor-kantor, di ruang publik, bahkan di ruang keluarga sekalipun, dengan tidak lagi mengenal kualifikasi genealogical (berkenaan dengan darah dan asal keturunan). Di satu pihak, kehidupan berdemokrasi dipahami sebagai sikap merdeka untuk bersikap dan menyatakan pendapat sebebas-bebasnya. Sementara pada saat yang sama, juga muncul anjuran untuk tetap menjaga kesantunan berdemokrasi, yang kerap juga terpeleset pada ketaatan berlebihan yang seringkali dibungkus dengan argumentasi loyalitas yang cenderung tetap beraroma feodalistik. Padahal, sikap untuk menjaga kesantunan berdemokrasi, sesungguhnya dapat dilepaskan substansinya dari ketaatan yang berlebihan dan kebebasan yang mengabaikan kebenaran, kewajaran, kepatutan dan kepantasan.
Gerakan defeodalisasi, dimaksudkan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi niat baik mengembangkan perilaku yang sewajar-wajarnya dari hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Selain itu, diharapkan bahwa gerakan ini, akan menghambat perkembangan feodalisme baru yang dirasakan telah masuk dan merambah kehidupan masyarakat nasional, regional dan daerah di negeri ini.
Andi Yayath Pangerang, Direktur Eksekutif NusaCelebesCenter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H