Secara lugas, Yansen menegaskan, bahwa inilah anomali pertama demokrasi di dunia ketiga seperti di Indonesia adalah: demokrasi dan feodalisme bisa hidup di bawah satu atap. Sedangkan anomali kedua, demokrasi tidak berbanding linier dengan kesejahteraan. Dengan amanat langsung dari rakyat, pemimpin akan mempunyai legitimasi sangat besar untuk dapat membawa rakyat ke arah yang lebih baik. Kegagalan akan berakibat pada dicabutnya mandat dari rakyat. Tapi, apa yang akan terjadi? Demokrasi pun kemudian bahkan berbanding terbalik dengan kesejahteraan.
Dalam hitungan Yansen, keuntungan yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya besar yang dikeluarkan. Demokrasi kita pun menjadi demokrasi biaya tinggi. Akhirnya, pada gilirannya nanti, orang pun akan lelah dengan demokrasi. Diingatkan juga, bahwa dalam iklim demokrasi dengan anomali seperti ini, feodalisme bahkan menemukan bentuknya yang paling berbahaya. Itu akan menjadi berbahaya ketika pemimpin yang memiliki jiwa otoriter dan manipulative, ternyata terpilih secara demokratis. Ujungnya, mereka merasa mempunyai legitimasi yang sangat kuat. Dengan legitimasi itu, para pemimpin tersebut besar sekali peluangnya melabrak etika dan fatsun politik, melanggar aturan, bahkan melakukan tindakan koruptif dan manipulatif.
Bagi Yansen, demokrasi adalah "barang baru" bagi bangsa ini. Menerima mentah-mentah demokrasi tanpa proses pembelajaran dan pengenalan lebih baik adalah sama dengan menggali kubur sendiri. Karena itu, pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Pemahaman yang utuh dan disertai perubahan sikap pandang merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk mendapat manfaat dari demokrasi. Partai politik dan para pemimpin politik harus menjadi inisiator pembelajaran politik masyarakat.
Dari kajian-kajian tersebut, secara nyata sekali dapat disimpulkan dengan suatu penyederhanaan, bahwa feodalisme memang telah menghambat proses perkembangan manusia dikarenakan tidak sampainya kritik terhadap pemimpin seperti yang dimaksudkan itu, dikarenakan dua hal yaitu adanya fenomena bawahan yang segan dalam melakukannya dan pemimpin yang tidak mau mendengar suara dari bawah. Fokus terhadap feodalisme, tampaknya selama ini, memang banyak diarahkan kepada perilaku dan hubungan antara bawahan dan atasan.
Dengan demikian, dalam kompleksitas permasalahannya, diketahui bahwa selain dari upaya keras untuk melakukan pembelajaran demokrasi sebagai pilihan konstitusional berbangsa dan bernegara, guna peningkatan kapasitas warga masyarakat dan para pemimpinnya dalam melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten. Di lain pihak, memang diperlukan tekad yang kuat dan langkah-langkah nyata untuk segera memulai gerakan "defeodalisasi" yang selayaknya dipelopori oleh para pemimpin yang getarannya menyentuh seluruh pelapisan sosial yang ada.
Istilah yang cukup menarik ini digunakan oleh para mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) saat menyambut pergantian rektor periode 2009-2014, untuk mewakili kegusaran berbagai kalangan yang cukup meluas tentang bahaya neo-feodalisme yang telah memasuki ruang publik, institusi masyarakat dan bahkan ruang keluarga. Perilaku feodal yang dianggap kontra produktif terhadap perjalanan hidup berbangsa dan bernegara, meskipun ketatanegaraan telah memasuki perubahan dari sistem monarkhi yang melekat pada sistem ketatanegaraan dari masa silam di nusantara, menuju alam demokrasi yang berciri egaliter.
Dalam Kompasiana, Jumat 16 Oktober 2009, Kusmayanto Kadiman (Menteri Negara Riset dan Teknologi) menuliskan kritiknya dalam judul "Gelar Akademik - Neo Feodalisme" dengan merujuk pada pidato kebudayaan Umar Kayam dalam Seri Dialog Kebudayaan II yang diselenggarakan LSAF di Gedung YTKI - Jakarta (1997) yang menyatakan bahwa semangat egaliterisme dan sistem kekuasaan demokratis merupakan kesepakatan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945, meskipun feodalisme masih juga tak kunjung luntur dari keseharian masyarakat kita.
Dalam era kekinian, memang dirasakan sedang terjadi transformasi budaya dalam bentuk pergumulan tata nilai yang cukup terasakan di berbagai bidang kehidupan. Yang cukup menarik, adalah seiring dengan memudarnya gaya kepemimpinan feodalis lama, justru muncul fenomena gaya hidup feodalistik yang baru dan dirasakan telah mulai mengisi ruang publik maupun ruang private (pribadi atau keluarga) dalam alam demokrasi yang sedang berkembang di wilayah ini.
Sangat dirasakan kemunculan gaya feodalisme baru di kantor-kantor, di ruang publik, bahkan di ruang keluarga sekalipun, dengan tidak lagi mengenal kualifikasi genealogical (berkenaan dengan darah dan asal keturunan). Di satu pihak, kehidupan berdemokrasi dipahami sebagai sikap merdeka untuk bersikap dan menyatakan pendapat sebebas-bebasnya. Sementara pada saat yang sama, juga muncul anjuran untuk tetap menjaga kesantunan berdemokrasi, yang kerap juga terpeleset pada ketaatan berlebihan yang seringkali dibungkus dengan argumentasi loyalitas yang cenderung tetap beraroma feodalistik. Padahal, sikap untuk menjaga kesantunan berdemokrasi, sesungguhnya dapat dilepaskan substansinya dari ketaatan yang berlebihan dan kebebasan yang mengabaikan kebenaran, kewajaran, kepatutan dan kepantasan.
Gerakan defeodalisasi, dimaksudkan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi niat baik mengembangkan perilaku yang sewajar-wajarnya dari hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Selain itu, diharapkan bahwa gerakan ini, akan menghambat perkembangan feodalisme baru yang dirasakan telah masuk dan merambah kehidupan masyarakat nasional, regional dan daerah di negeri ini.
Andi Yayath Pangerang, Direktur Eksekutif NusaCelebesCenter.