Mohon tunggu...
Yayath Pangerang
Yayath Pangerang Mohon Tunggu... -

Saya bernama Andi Moch. Yayath Pangerang, terlahir di Kolaka pada 12 Juni 1958, dari ayahanda Andi Hamzah Pangerang dan ibunda Andi Nurmy. Saya pernah mengenyam pendidikan Sosiologi di Universitas Hasanuddin dan kursus singkat di beberapa perguruan tinggi di sejumlah negara lain. Saya menikah dengan Ratu Dewi Lukman Wahab, dan dikaruniai 2 anak, seorang putri - Deraya Meuthia Toja, dan seorang putra - Panduaji Warani Paoladeceng. Sekarang, saya menetap di Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Gerakan Defeodalisme, Keharusan Masa Depan

20 Februari 2010   06:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:50 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Waspadalah, Feodalisme ada di mana-mana)

Salah satu problematika yang cukup menonjol dari banyak realitas yang mengemuka di tanah air, adalah belum terselesaikannya proses transformasi nilai budaya sosial budaya politik yang berlatarkan bekas negara lama (kerajaan, kedatuan, kesultanan dan lain-lain) menuju nilai budaya demokrasi yang lebih egaliter. Jika ingin merujuk kepada substansi nilai budaya yang dianut oleh masyarakat dalam konteks itu, maka sesungguhnya akan dapat dipahami bahwa mungkin tidak terjadi goncangan yang berarti dalam proses transformasi yang sedang berlangsung itu, di masa lalu - masa kini - dan barangkali di masa datang.

Meskipun demikian, memang harus diakui, bahwa ada riak-riak yang cukup dirasakan, namun memerlukan pencermatan yang lebih intensif untuk menemukan hubungan sebab akibat realitas tersebut dengan pergumulan transformasi budaya lama ke budaya baru yang diakibatkan pada pilihan demokrasi dalam bernegara dan berbangsa. Dalam beberapa rujukan akademis yang ada, "feodalisme" yang dicurigai sebagai salah satu kelemahan sistem monarkhi seperti yang dianut negara-negara lama yang berbentuk kerajaan di negeri ini. Cukup banyak stigma seperti ini yang ditujukan kepada masyarakat yang berlatar budaya bekas negara-negara di masa silamnya.

Michael Prestwich, dari University of Durham, mengatakan bahwa feodalisme diambil dari bahasa Latin feudum (tanah yang dimiliki oleh para ksatria sebagai imbalan atas jasa-jasanya membela penguasa atau raja selama 40 hari atau lebih). Dengan kekuasaan para bangsawan penguasa seperti itu, maka mereka dapat mengatur segalanya. Menurutnya, definisi mengenai feodalisme sangat sulit dicapai, karena telah diketahui bahwa tidak ada masyarakat yang sepenuhnya bersifat feodal.

Lebih jauh dikatakannya, bahwa kebanyakan argumen para ilmuwan mengenai feodalisme bersumber dari kegagalan mereka untuk menyepakati suatu definisi yang pasti. Untuk sekedar mengekspresikan hubungan para bangsawan kesatria dan para petani yang menjadi bawahannya di Eropa pada abad pertengahan, istilah feodalisme bisa diterima, namun istilah itu tidak bisa diterapkan begitu saja di tempat-tempat dan periode lain. (Baca Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Adam Kuper & Jessice Kuper, Terjemahan Haris Munandar dkk. - Rajawali Press, Jakarta, 2008.)

Antara lain didapatkan kesimpulan dari segelintir pihak, bahwa nilai-nilai feodalisme merupakan warisan dari negara-negara kerajaan yang ada pada jaman dahulu di nusantara, lalu diambil alih oleh para penjajah, kemudian terjadi revolusi kemerdekaan yang sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan feodalisme yang ada pada diri manusia Indonesia.

Bagi mereka, sikap-sikap feodal ini bersifat destruktif dikarenakan seorang bawahan akan menganggap mereka yang lebih tinggi dari mereka adalah benar dalam setiap tindakannya. Ketidakbolehan untuk menyangkali, walau itu salah sekalipun merupakan salah satu keburukan dari feodalisme, selain itu juga menghancurkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain.

Seperti yang banyak dicontohkan Muchtar Lubis (Manusia Indonesia, 1978) dan sejumlah pengamat lainnya, bahwa dalam kehidupan sehari-hari pada dalam jaman sekarang dimana seorang bawahan dikatakan tidak sopan jika menegur atasan karena alasan yang benar, merupakan suatu bentuk dari feodalisme. Tidak didengarnya suara mereka yang ada dibawah sebagai suara manusia, juga merupakan bentuk nyata dari feodalisme yang terjadi pada manusia Indonesia. Hanya saja kerajaan yang dimaksud sudah bukan raja atau datu lagi sebagai pemimpin, namun raja-raja tersebut sudah diganti namanya menjadi presiden, menteri, jenderal, presiden direktur dan lainnya.

Dalam suatu tulisannya di situs Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) - 29 April 2008 , Yansen (2008), justru meletakkan kerangka pandangan sebagai pertemuan dua aliran tata nilai yang melahirkan banyak paradoks, yang disebutnya sebagai suatu anomali. Menurutnya, bahwa dalam khazanah sosiologis kita, setelah bangsa Indonesia berkembang pesat, struktur pemikiran feodal tidaklah hilang dari logika budaya bangsa. Feodalisme katanya, telah menjadi pola dasar (archetypes), dengan meminjam istilah Carl Gustaf Jung, telah mengendap dalam alam bawah sadar kita. Ia pun tak jadi mudah dihilangkan hanya dengan mencoba menerapkan sistem kebudayaan baru. Jadi, tanpa mengubah fundamental budaya yang feodalistis dan patronis, demokrasi tidak akan memberikan hasil positif bagi bangsa ini.

Pengajar pada Universitas Bengkulu yang sedang belajar di Australia ini, dalam tulisannya berjudul "Anomali Demokrasi Indonesia" menyatakan bahwa sejarah menunjukkan pemimpin formal seperti Indonesia sering kali menjalankan kekuasaan tanpa kritik. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas bahkan tak terkendali. Tapi, secara jujur harus diakui, sedikit banyak feodalisme merupakan bagian kebudayaan timur. Lebih jauh dikenali olehnya, bahwa oleh pendukung teori-teori sosial Barat, hal ini banyak dikritik. Demokrasi kemudian dianggap sistem paling ampuh dan ideal dalam pengaturan hierarki kepemimpinan masyarakat. Walhasil, demokrasi pun dijajakan, bahkan dipaksakan ke semua bangsa. Indonesia modern pun menerima demokrasi. Maka kemudian, Soekarno dan Soeharto menerapkan demokrasi semu. Jadi, katanya, demokrasi dimanipulasi dan dijadikan senjata memperkuat patronisme.

Menurutnya, demokrasi kemudian semakin mendapat tempat di negara ini. Bahkan, Yansen menilai bahwa sekarang ini, sedang bergerak kembali kepada demokrasi dalam bentuk aslinya. Semua dipilih secara langsung. Sesuatu yang tidak terjadi di negara "kampiun" demokrasi sekalipun. Tapi, apakah setelah itu secara mental pemimpin-pemimpin yang terpilih terbebas dari feodalisme? Apakah mereka terbebas dari pikiran bahwa mereka mempunyai kekuasaan sepenuhnya pada masyarakat sehingga bisa memanipulasi keinginan-keinginan akar rumput (grass root)? Ternyata tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun