Mohon tunggu...
Yayath Pangerang
Yayath Pangerang Mohon Tunggu... -

Saya bernama Andi Moch. Yayath Pangerang, terlahir di Kolaka pada 12 Juni 1958, dari ayahanda Andi Hamzah Pangerang dan ibunda Andi Nurmy. Saya pernah mengenyam pendidikan Sosiologi di Universitas Hasanuddin dan kursus singkat di beberapa perguruan tinggi di sejumlah negara lain. Saya menikah dengan Ratu Dewi Lukman Wahab, dan dikaruniai 2 anak, seorang putri - Deraya Meuthia Toja, dan seorang putra - Panduaji Warani Paoladeceng. Sekarang, saya menetap di Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Makelar Politik (Bagian Kedua)

11 Januari 2010   11:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:31 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia makelar politik pun mengenal proses kaderisasi. Baik yang mengkader maupun yang dikader, keduanya sama-sama saling menguntungkan. Yang mengkader punya kaki-tangan, yang dikader punya kesempatan untuk belajar.

Dari proses itulah, orang-orang yang dikader bisa mempelajari kiat dan siasat, strategi dan taktik, serta yang paling penting lagi akses terhadap dunia makelar politik yang begitu luas. Bahkan mereka pun bisa belajar sampai cara berdandan dan gaya omongan. Misalnya saja sebagai penutup sebuah proses negosiasi, seorang makelar politik bisa langsung ke pokok masalah dengan cara bertanya, “Gua dapat berapa?” Tetapi ada juga yang agak lembut dengan bilang, “Kita ketemu di angka berapa?”

Tetapi namanya juga dunia yang serba tidak jelas, jangankan antar para makelar politik yang sepantaran, antara si pengkader dan yang dikader pun suatu saat di titik tertentu, kadang mereka saling berhadapan. Tetapi saling berhadapan di soal ini, tidaklah suatu yang sangat serius. Mereka memang bertempur untuk agenda-agenda yang berseberangan, tetapi begitu mereka bertemu di kafe atau restoran, mereka akan saling tertawa dan saling bercanda, sebagai layaknya seorang teman.

Soal proses pengkaderan, saya punya kisah untuk Anda. Ada salah satu makelar politik yang saya kenal, dia angkatan 90an, sebutlah namanya Hardi, yang dikader oleh seorang makelar politik angkatan 70an. Hardi pun punya sebaris kader lain dari angkatan yang lebih muda.

Sebagaimana lazimnya, Hardi memberikan kiat-kiat sederhana bagi kader-kadernya, sebagai langkah awal untuk memasuki dunia makelar politik. Dari mulai menyebar gosip, membuat seminar pesanan, sampai demonstrasi pesanan. Setelah hal-hal seperti itu dirasa cukup, Hardi akan mengajarkan cara yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya saja bagaimana memainkan sebuah isu politik untuk menyerang seseorang yang kelak akan dimintai uang. Begitu seterusnya.

Dengan memiliki sejumlah kader, seorang makelar politik biasanya akan semakin menaiki jenjang yang lebih tinggi lagi, karena ia punya barisan yang siap melakukan serangkaian kegiatan serempak. Tinggal kemudian bagi-bagi keuntungan. Tentu saja, makelar pengkader akan mendapat lebih banyak.

Tetapi seorang kader muda yang jeli dan cerdas, segera cabut dari lingkaran itu dan membuat lingkaran tersendiri. Dan dari sinilah kisah ini akan saya mulai.

Salah satu kader kebanggaan Hardi sebut saja bernama Sopian. Awalnya, Sopian melakukan kerja-kerja makelar atas pesanan Hardi. Tetapi lama-kelamaan, mungkin karena Sopian semakin lihai dan juga mungkin karena bagian yang ia terima tidak sebesar bagian yang diterima Hardi, Sopian membuat gerakan sendiri di luar koordinasi Hardi.

Suatu saat, Sopian membuat proyek untuk mendemonstrasi seorang pejabat. Tak tahunya, pejabat tersebut sedang ‘dipegang’ oleh Hardi untuk sebuah proyek besar. Menyaksikan gerakan Sopian yang di luar kendalinya, Hardi berang. Lalu ia mengajak Sopian untuk bertemu.

Lalu terjadi dialog yang kira-kira seperti ini…..

“Kenapa kamu demo Pak A? Dia kan orang baik?” ujar Hardi, begitu mereka bertemu di sebuah tempat sambil minum kopi.

“Baik bagaimana, Bang? Aku punya datanya kalau dia busuk” jawab Sopian dengan muka tidak bersalah.

“Mana data-data itu?”

Sopian pun memberikan keterangan soal daftar kejahatan Pak A, si pejabat.

Setelah Hardi mendengar hal itu, ia lantas bilang, “Sudah gini saja deh, kamu butuh uang berapa untuk kasus itu?”

Sopian menyebut sejumlah angka rupiah. Mendengar hal itu, Hardi segera menyahut, “Gila kamu! Masak untuk hal kayak gitu saja kamu mau minta uang sebesar itu.”

Lalu perbincangan mengarah ke angka yang tepat. Akhirnya, mereka menemukan angka yang disepakati berdua. Hardi memberikan sejumlah uang yang sesuai dengan angka yang telah disepakati kepada Sopian, kemudian berkata, “Sudah jangan ganggu dia lagi ya?” Sopian mengangguk, tersenyum, menghabiskan kopi, lalu pergi.

Kepada teman-temannya, Hardi kemudian mengomel, “Sialan itu Sopian. Aku yang ajari dia cara-caranya, dia sikat bos aku. Lama-lama, jangan-jangan dia sikat aku pula!”

Selang beberapa hari kemudian, Hardi menemui si pejabat. Dia terangkan semua hal yang telah ia lakukan, tentu saja ditambahi dengan bumbu-bumbu penyedap kata dan pembengkakan angka. Pejabat tersebut lantas mengucapkan terima kasih kepada Hardi, dan menulis di selembar cek sejumlah angka, kemudian diberikan ke Hardi. Angka itu berjumlah 10 kali lipat dari angka yang dikeluarkan Hardi untuk Sopian.

Suatu saat, Hardi mengajak bertemu Sopian lagi. Di pertemuan itu, Hardi kembali menguliahi Sopian tentang kebaikan si pejabat. Tetapi Sopian jelas tahu maksud Hardi. Dan ia bilang, “Asal angkanya cocok, aku tidak akan ganggu dia lagi, Bang.”

Hardi dengan gaya agak menggerutu mengeluarkan sejumlah uang untuk Sopian, jumlah yang hampir sama dengan yang dikeluarkan pertama kali, sambil berkata, “Sudah, jangan pernah ganggu dia lagi!”

Setelah pertemuan itu, Hardi menemui kembali si pejabat, mengatakan bahwa ada skenario untuk mengguncang si pejabat. Mendengar hal itu, si pejabat segera meminta tolong Hardi untuk meredam hal itu, tentu saja sambil menulis kembali ke selembar cek sejumlah angka, yang kemudian diberikan ke Hardi.

Setelah menerima cek tersebut, dengan lantang dan tegas, Hardi bilang, “Pokoknya beres, Pak Tidak akan ada lagi yang mengganggu Bapak.”

Begitulah Hardi, begitulah Sopian, dan begitulah si pejabat.

Puthut EA

29 Desember 2008

Terimakasih Mas Puthut, telah mengizinkan saya untuk menyebarluaskan bagian dari bukunya yang menggemaskan.

AYP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun