Â
Â
Rasa nasionalis terusik ketika membaca judul berita Kompas, 3 September 2015, Mobil Listrik Nasional Selo Diambil Alih Malaysia?. Dalam berita tersebut diungkapkan bahwa ada pertemuan antara Ricky Nelson, anak bangsa penggagas mobil nasional Selo, dengan seseorang dari KL, mengindikasikan ibukota Malaysia -Kuala Lumpur, yang bersedia memberi kesempatan pengembangan mobil listriknya. "Kalau ada yang bisa lebih bagus untuk kami berkarya kenapa tidak. Kesempatan terbuka di sana," ujar Ricky saat dihubungi KompasOtomotif, Kamis (3/9/2015).
Ironisnya, rasa itu semakin terasa pedih ketika membaca berita Merdeka, 4 September 2015, Mobil listrik Selo diincar Malaysia, ini tanggapan BPPT dimana menurut Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto, yang menyatakan rencana Malyaysia itu bukan suatu masalah. "Ya, gak papa. Lagian Malaysia juga gak jago-jago amat bikin mobil kan? Gak papa. Kalau pun untuk dijual, siapa yang mau beli? Berapa banyak yang mau beli?" kata Unggul kepada Merdeka.com di kantornya, Jakarta, Kamis (3/9).
Benarkah memang mobil listrik tidak laku?
Melihat kondisi di Amerika Serikat dengan merujuk data yang disampaikan IDTechEx tentang Electric Vehicle Forecasts, Trends and Opportunities 2015-2025 menunjukkan memang tingkat penjualan mobil listrik murni boleh dibilang sangatlah kecil, sebagaimana tampak dalam diagram di bawah.
Â
Padahal, Presiden Barrack Obama sejak kampanye di tahun 2009 telah menetapkan target 1 juta plug-in vehicles di jalanan pada tahun 2015. Sayangnya, karena penjualan yang buruk dan penurunan harga minyak dunia telah membatasinya. Ditambah lagi pemangkasan belanja negara semakin mempersulit mewujudkan target tersebut.
Realistis! Mungkin itulah alasan BPPT berpendapat demikian, mobil listrik belum waktunya untuk menjadi suatu industri. Sebagaimana dinyatakan, "Jadi begini, mobil listrik kenapa belum waktunya jadikan industri, hal ini karena di negara maju sekalipun mobil listrik belum komersial. Kalau dibikin industri, saya rasa gak yakin bisa laku. Masalahnya kan juga kesulitan pada baterainya dan stasiun pengisian listriknya. Ini yang menjadi kendalanya. Tetapi, kalau riset saya setuju," kata Unggul.
BPPT yang memiliki visi sebagai Pusat Unggulan Teknologi yang mengutamakan inovasi dan layanan teknologi untuk mewujudkan kemandirian bangsa, peningkatan daya saing dan peningkatan pelayanan publik, ternyata ikut memilih membiarkan potensi anak bangsanya terbang ke negara tetangga, seperti yang biasa terjadi. Benarlah artikel yang ditulis oleh almboelaxsy, "Indonesia, setelah sekian tahun berdiri, ternyata memang belum saatnya menerima orang jenius dengan penemuan hebat yang berpotensi menggerakkan roda ekonomi di level industri berbasis teknologi tinggi. Indonesia, memang masih harus menerima takdir untuk terus "dijajah"..."
Ya ... Inilah Indonesia. Ricky pun sadar, sebagaimana dinyatakannya, "Itu serius, bukan pekerjaan saya sindir-sindiran. Saya serius. Saya gak kecewa karena dari awal saya sudah tahu bagaimana proses pengembangan di Indonesia. Saya dari awal tahu bahwa masih jauhlah dari harapan, maksudnya itu ya negeri kita ini perlu banyak belajar. Itu saja," kata Ricky.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H