Indonesia punya beragam seni budaya yang istimewa dan banyak diantaranya yang sudah mendunia. Karya seni yang paling dikenal adalah dari Bali, siapa sih wisatawan mancanegara yang tak kenal Bali?
Namun, Indonesia bukan cuma Bali. Itu sebabnya banyak pihak berusaha mengenalkan karya seni dari berbagai daerah di Indonesia.
Salah satu karya seni yang berusaha sering diangkat ke mancanegara adalah karya seni dari Papua. Pulau Papua yang eksotis ini punya 255 suku yang kesemuanya punya karya seni dengan ciri khas masing-masing. Salah satu suku yang sedang diperkenalkan karya seninya adalah suku Kamoro.
PT Freeport Indonesia (PTFI) bersama Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe (MWK) dan Plataran Indonesia menggelar Kamoro Art Exhibition & Sale 2021 di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, pada 27-29 Oktober 2021.
Selama tiga hari, PTFI memperkenalkan karya seni dan budaya Suku Kamoro kepada para pengunjung pameran, sebagai salah satu suku asli Papua yang hidup berdampingan dengan PTFI di wilayah operasi perusahaan di Mimika, Papua.
Kamoro dikenal dengan karya seni berupa ukiran kayu, anyaman, dan tarian. Melalui pameran seni ini, PTFI berharap masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda sebagai ahli waris kekayaan budaya bangsa, akan semakin mengenal keragaman karya seni tradisional Papua sebagai bagian dari budaya Nusantara.
Tujuan pameran tersebut adalah untuk mengajak generasi muda Indonesia untuk mengenal lebih dekat seni budaya Kamoro sebagai bagian dari khazanah budaya Indonesia.
Pameran budaya ini merupakan bagian dari rangkaian acara yang diadakan dalam pekan "Untukmu Papua -- Saudaraku" di Plataran Indonesia.
Hal tersebut merupakan perwujudan dari tiga pilar yang diusung oleh Plataran Indonesia, yakni pilar alam, budaya, dan masyarakat dalam upaya menjalankan kegiatan yang berkelanjutan.
Hasil Seni Kamoro, Punya Pasar di Dunia Internasional
Saya datang ke lokasi pameran Kamoro Art Exhibition pada Jumat 29 Oktober lalu, tepat di hari terakhir pameran itu berlangsung.
Aneka patung dari kayu memenuhi ruangan pameran. Ukurannya ada yang besar ada juga yang kecil. Patung kayu didominasi warna hitam dan coklat, hanya sedikit yang berwarna putih.
Melihat satu demi satu patung kayu ini membuat saya membayangkan kondisi Kamoro, Papua saat ini. Saya belum pernah menginjakkan kaki ke pulau Papua. Tidak tahu juga di mana letak suku Kamoro.
Namun. membaca berita kemajuan pembangunan yang sedang digenjot di Papua saat ini, saya berharap wilayah tempat suku Kamoro tinggal jadi lebih mudah dijangkau.
Sesekali saya meraba patung kayu yang dipamerkan. Teksturnya halus. Terlihat ukiran di patung tersebut dipahat dengan tangan dan dibuat dengan hati-hati serta teliti.
Ada patung kayu berbentuk buaya yang panjang sekali. Pasti terinspirasi dengan buaya yang banyak terdapat di sungai di daerah Papua.
Hari itu ada dialog yang diselenggarakan oleh PT Freeport Indonesia dan Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe (MWK).
Hadir sebagai narasumber adalah ibu Ghea Panggabean, desainer terkemuka Indonesia dan pemilik Ghea Fashion Studio, ibu Luluk Intarti dari MWK dan Asha Smara Darra, seorang desainer kelas Internasional. Jika Anda asing dengan nama ini, Anda pasti tahu Oscar Lawalata. Yap.. Asha Smara Darra adalah nama baru dari Oscar Lawalata.
Ibu Ghea Panggabean pernah mengunjungi suku Asmat di Papua dan begitu kagum dengan hasil seninya. Spesial untuk Kamoro Art and Exhibition, ibu Ghea membuat baju dengan desain tameng Papua yang dibuat di atas bahan silk. Desainnya cantik sekali.
Baju yang dibuat jenis baju santai, tapi buat saya baju dengan warna hitam dan tameng Papua berwarna coklat itu terlalu cantik untuk dipakai sebagai baju santai.
Sejatinya, hasil karya seni sebuah daerah bisa diaplikasikan menjadi sebuah baju. Ibu Ghea berpengalaman menjual desain bajunya di mancanegara.
Banyak negara di Eropa dan Italia yang menyukai baju dengan motif seni Indonesia. Ia tak sabar ingin mengenalkan motif Kamoro ke mancanegara juga.
Ibu Ghea bilang motif Kamoro bisa dibuat menjadi apa saja. Bisa menjadi alat makan seperti piring atau gelas, baju kekinian, masker, ikat kepala, atau hiasan interior.
Masyarakat mancanegara menyukai motif-motif etnik, termasuk motif Papua. Pasar untuk seni Kamoro terbuka luas, asal kita bisa kreatif menggunakannya, kata ibu Ghea.
Senada yang dikatakan oleh Asha Smara Darra. Motif Kamoro begitu original, punya banyak sisi untuk diolah.
Asha punya ide untuk membuat program yang bisa diikuti oleh para pengrajin seni, di mana di program ini para pengrajin akan diajari untuk lebih confidence dalam menghasilkan karya seni, yang pada akhirnya lebih bangga dengan profesinya.
Selain itu program ini juga menjadi jalan agar mereka lebih mengenalkan karya seninya. Masyarakat harus tahu bagaimana proses sebuah karya seni dibuat.
Kenapa bisa muncul motif buaya, ular dan lain sebagainnya. Ada latar belakang dan proses pembuatan karya seni hingga masyarakat akan lebih menghargai sebuah karya seni.
Asha Smara Darra juga menyarankan para desainer untuk hati-hati membuat fashion dari seni sebuah daerah seperti suku Kamoro.
Motif Kamoro itu sangat natural dan terinspirasi oleh alam. Jadi sebagai desainer harus kreatif membuat fashion tanpa menghilangkan esensi dari seni Kamoro tersebut.
Sesungguhnya memajukan produk lokal adalah tanggung jawab banyak pihak. Sebagai desainer, Asha berkomitmen ikut memajukan produk lokal dengan cara mengenalkannya ke mancanegara. Tak lupa Asha mengajak para desainer muda untuk mengolah produk lokal Indonesia.
Indonesia punya banyak ragam budaya, tinggal pilih dan kemas lalu sesuaikan dengan pasar yang dituju, pasar Internasional terbuka untuk itu.
Saya setuju sekali dengan pendapat kedua desainer ini. Sebagai penyuka produk lokal, memang sudah saatnya kita melirik produk negeri sendiri.
Selain melestarikan budaya dan seninya, juga untuk meningkatkan taraf kehidupan para pengrajinnya. Kalau bukan kita yang mendukung produk lokal, maka siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H