Teman saya menghentikan mobilnya tepat beberapa meter sebelum pintu masuk lokasi wisata Goa Pinus. Saya dan 2 teman saya sedang berkunjung ke Malang dalam rangka mengurus pekerjaan. Hari itu, tanggal 3 September 2018, adalah waktu bebas kami, setelah 2 hari sebelumnya jadwal kami padat dengan pekerjaan.
Saya berhasil "memaksa" dua teman saya untuk mampir ke Goa Pinus, dalam perjalanan kami menuju Desa Kemulan di Turen Malang. Teman saya yang menyopiri mobil itu memang asli Malang, jadi mumpung sedang ada pekerjaan di Malang, ia sekalian pulang kampung, ceritanya. Namun sebelum sampai di Kemulan, saya "bajak" dulu ke Goa Pinus.
Saya suka sekali berkunjung ke tempat wisata yang penuh dengan pepohonan. Bercengkrama di antara gedung-gedung tinggi sudah saya lakoni setiap hari di Jakarta dan itu cukup membosankan. Saya rindu segarnya udara yang saya hirup sambil memandang rimbunnya daun di pepohonan. Saya rindu menikmati sinar matahari yang menyelinap di antara dahan-dahan pohon yang tinggi.
Area wisata Goa Pinus, memberikan semua yang saya minta. Pepohonan pinus yang menjulang tinggi, aroma tanah basah bekas hujan semalam dan tanaman bunga yang sebagian sedang mekar memamerkan warnanya yang sungguh cantik dipandang. Saya hanya membayar lima ribu rupiah untuk semua kenikmatan itu.
Jarak Goa Pinus dengan pusat kota sekitar 11 kilometer. Karena ini kawasan pegunungan, maka jalan yang kita lalui akan berkelok dan menanjak di beberapa ruasnya. Lokasi ini cukup dikenal oleh penduduk sekitar, maka kalau Anda nyasar saat menuju ke lokasi Goa Pinus jangan sungkan bertanya pada penduduk sekitar, Anda akan diberitahukan arah yang benar.
Angin cukup kencang menemani saya ketika menyusuri jalan setapak untuk masuk lebih jauh ke area Goa Pinus. Angin membuat daun-daun pinus bergesekan satu dengan yang lain, menimbulkan suara khas yang tak akan saya dengan di belantara beton Jakarta. Suasana Goa Pinus cukup sepi, karena saya datang di hari kerja dan bukan di saat libur panjang. Sungguh saat yang tepat untuk menikmati Goa Pinus dengan maksimal.
Angin terasa makin kencang menerpa saat saya tiba di gardu pandang berlantai bambu. Dari gardu pandang ini kita bisa memandang sawah dan perkampungan yang ada di bawah. Sejauh mata memandang, hanya hijau dan hijau yang terlihat oleh mata. Nampak di kejauhan, siluet Gunung Arjuno berdiri dengan kokohnya. Inginnya saya berlama-lama di gardu pandang ini, namun beberapa spot foto di area kanan gardu pandang, mencuri perhatian.
Area ini tak terlalu sepi, ada beberapa orang yang asyik menikmati suasana sambil mengobrol di atas gardu pandang. Kebanyakan mereka anak muda yang datang berpasangan. Namun saya tak terganggu dengan mereka, seperti mereka pun tak terganggu dengan saya. Kedua teman saya sedang asyik berfoto di spot serupa balon udara, saya memilih untuk duduk di kursi yang terbuat dari akar pepohonan.
Dari tempat saya duduk, terlihat beberapa rumah kecil khas Papua. Tak menunggu lama, saya berjalan menghampirinya. Ada beberapa rumah khas Papua di area ini. Ada yang agak besar, ada juga yang lebih kecil. Atap rumahnya terbuat dari bahan yang mirip ilalang. Rumah- rumah khas Papua menghadap ke jajaran pohon pinus yang rapat dan menjulang tinggi.