Mohon tunggu...
Ya Yat
Ya Yat Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Penyuka MotoGP, fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang banyak hal, Kompasianer of The Year 2016, bisa colek saya di twitter @daffana, IG @da_ffana, steller @daffana, FB Ya Yat, fanpage di @daffanafanpage atau email yatya46@gmail.com, blog saya yang lain di www.daffana.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah ini Tak Kena Sistem Zonasi dan Bikin Anak Kreatif, tapi kok Jarang Dilirik

13 Agustus 2018   20:33 Diperbarui: 14 Agustus 2018   07:59 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah untuk belajar bukan untuk membuat stress (dok.freepik.com)

Setiap tahun ajaran baru, para orang tua dibuat pusing kepala, terlebih jika anak-anaknya bersekolah di jenjang yang baru. Misal dari SD ke SMP, yang dari SMP ke SMA. Keluhan wajar terdengar. Kekisruhan mengenai tahun ajaran baru menjadi hot topik obrolan ibu-ibu yang doyan ngumpul di lingkungan rumah saya.

Anak-anak di lingkungan rumah saya sepantaran usianya. Banyak yang barengan masuk SMP dan SMA. Nampaknya dulu para ibu di lingkungan rumah saya hamilnya barengan. Maka urusan cari sekolah memang jadi trending topik di lingkungan rumah saya selama berhari-hari.

Saya bukan orang yang suka ngerumpi, namun atas nama tetangga yang baik, kadang saya ikut para ibu-ibu ngerumpi dan ngomongin soal sekolah. Saya tak selalu dapat solusi mengenai permasalahan anak sekolah ketika ngerumpi. Wong kebanyakan ibu-ibu ini cuman curhat. Tentang anaknya yang nilainya minim, tentang tingginya standar nilai PPDB dan lain-lain. Solusi justru saya dapatkan ketika searching di internet.

Dari sekian banyak permasalahan anak masuk sekolah, tahun ini yang menjadi hot topik dan trending nggak habis-habis adalah sistem zonasi. Saya sih nggak cari sekolah baru karena anak saya naik ke kelas sebelas. Namun hebohnya para ibu ngerumpi soal sistem zonasi bikin saya terpanggil buat ikut ngerumpi juga.

Jadi menurut sistem zonasi, sekolah wajib menerima siswa didik baru dari zona yang terdekat dengan sekolah. Kuota siswa didik baru dari zona terdekat ini mencakup 90% dari jumlah kuota siswa didik baru yang dimiliki sekolah. Cakupan zona didasarkan pada alamat siswa didik baru di Kartu Keluarganya. Jadi nggak bisa bohong tuh.

Bapak Ari Santoso (dok.yayat)
Bapak Ari Santoso (dok.yayat)
Radius zonasi itu sendiri ditetapkan oleh Pemda yang melibatkan musyawarah/kelompok kerja kepala sekolah. Di mana radius zona bisa berbeda di beberapa daerah tergantung ketersediaan anak usia sekolah dan tergantung ketersediaan daya tampung sekolah. Sistem zonasi berlaku untuk jenjang SMP dan SMA.

Sudah maklum kita bahwa peringkat sekolah bisa berbeda tergantung kualitasnya. Makanya ada sekolah favorit yang kerap jadi incaran para orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke situ. 

Hal yang wajar orang tua mengejar sekolah favorit karena orang tua ingin anaknya mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik. Stigma sekolah favorit inilah yang bikin para orang tua meradang dengan sistem zonasi yang mematikan kesempatan anaknya bersekolah di sekolah favorit.

Pada tanggal 6 Agustus 2018, saya mengikuti acara Perspektif yang diadakan oleh Kompasiana dan Kemendikbud. Rencananya bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy hadir dalam acara ini. 

Sayangnya ada panggilan dari  Presiden Joko Widodo yang pastinya harus didahulukan. Kehadiran pak Menteri digantikan oleh bapak Ari Santoso, Kepala Biro Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untung juga sih pak Mentri berhalangan hadir karena tanpa kehadiran pak Mentri pun acara nangkring perspektif berlangsung "panas". Maklum ye ngomongin pendidikan sik.

Menurut pak Ari Santoso, sistem zonasi itu dibuat agar para siswa bisa merasakan kualitas pendidikan yang sama dan menghapuskan stigma sekolah favorit. Biasanya kan yang masuk ke sekolah favorit tuh anak-anak yang nilainya tinggi, karena yang diambil sebagai dasar memang nilai ujian. Dengan sistem zonasi, anak-anak yang nilainya rendah bisa mendapatkan pendidikan yang baik.

Pak Ari dapet plakat Kompasiana (dok.yayat)
Pak Ari dapet plakat Kompasiana (dok.yayat)
Saya tak hendak membahas lebih jauh soal sistem zonasi, karena teman-teman lain sudah banyak yang menulisnya. Saya tak juga ingin menyalahkan Kemendikbud yang membuat sistem ini karena apapun peraturan pemerintah, sejatinya itu untuk membuat kualitas pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Udah tau kan ya kalo pendidikan kita tertinggal banget sama negara luar.

Namun saya ingin menulis tentang alternatif biar para orang tua nggak pusing dengan sistem zonasi. Biar orang tua nggak setress dan berpotensi bikin anak makin setress. Kasian lho anak kita, udah setress karena Ujian Nasional, setress lagi pas mau melanjutkan sekoah. Jangan tambahin ke-setress-an pada anak-anak karena akan sekolah di manapun mereka pasti mereka akan setress juga menghadapi aneka macam pelajaran sekolah. Alternatifnya apa? Masukkan anak ke Sekolah Menengah Kejuruan.

SMK yang membuat anak kreatif tapi jarang dilirik

Kebanyakan orang tua masih memandang rendah Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK. Anak-anak yang masuk ke SMK dianggap anak-anak yang nggak bakal melanjutkan kuliah dan begitu lulus langsung bekerja. Kuliah itu cuma untuk anak-anak lulusan SMA, anak SMK mah langsung kerja aja di minimarket.. kalimat ini beberapa kali saya dengar. Iya bener.. masih ada yang berpikir begini tentang anak-anak lulusan SMK.

Dulu.. saya masuk SMK setelah lulus SMP. Jaman saya SMK namanya masih SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Orang tua saya memasukkan saya ke SMEA dengan tujuan saya bisa langsung bekerja. Kalaupun saya melanjutkan kuliah ya pengennya saya bisa membiayai kulisah dengan nyambi bekerja. Dulu anak SMEA memang lebih cepet dapet kerja ketimbang lulusan SMA.

SMK banyak prakteknya (dok.portal.ditpsmk.net)
SMK banyak prakteknya (dok.portal.ditpsmk.net)
Tapi itu dulu.. ketika handphone penampakannya belum tau kayak gimana. Saat ini, SMK menjadi tempat sekolahnya anak-anak kreatif. SMK sekarang nggak sebatas jurusan perkantoran, pemasaran,  pembukuan atau teknik. Jurusan di SMK berkembang seiring perkembangan jaman. 

Sekarang ada jurusan broadcasting, multimedia, animasi dan lain-lain. Beberapa tahun lagi jurusan di SMK akan makin banyak, menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

Ketika memasukkan anak saya ke SMK, tujuan supaya anak saya cepet bekerja setelah mereka lulus adalah tujuan yang ketiga. Tujuan pertama adalah agar anak saya berkembang kreativitasnya, nggak melulu hanya tergantung pada pelajaran di buku. 

Tujuan yang kedua adalah agar mereka punya keahlian khusus. Dengan memiliki keahlian khusus, saya berharap anak-anak saya lebih bisa bersaing di jaman sekarang.

Ketika dua anak saya masuk ke SMK dan mengambil jurusan animasi, tetangga sekitar rumah mengernyitkan dahi ketika mendengar anak saya sekolah di jurusan animasi. Apa itu animasi? Menggambar? Wong menggambar aja kok pake sekolah.. begini komentar yang saya dengar. 

Tapi saya membalasnya dengan senyum. Sama tetangga nggak boleh membalas dengan kalimat negatif.. nanti nggak dikasih opor ayam waktu Lebaran hahahaha...

Di acara nangkring perspektif kemarin pak Ari bilang, sistem zonasi yang dibuat agar anak-anak nggak pada bingung ambil jurusan di SMA atau kuliah karena kualitas pendidikan yang begitu-begitu aja.. nggak berkembang. Iya saya denger sih emang lulusan SMP bingung mau ambil jurusan apa di SMA dan lulusan SMA bingung mau ambil kuliah jurusan apa.

anak SMK diajar lebih kreatif (dok.harianterbit.com)
anak SMK diajar lebih kreatif (dok.harianterbit.com)
Well... kebingungan ini nggak akan dialami jika para orang tua bisa mengarahkan anaknya. Jelaskan bahwa jenjang sekolah itu bukan hanya SMA tapi juga ada SMK yang jurusannya lebih variatif. Namun sebelumnya para orang tua kudu tau gimana-gimananya SMK. Jadi ketika ditanya balik sama anaknya, orang tua mampu menjelaskan bagaimana SMA dan bagaimana SMK.

Pelajaran di SMK yang lebih banyak prakteknya, membuat pikiran anak jadi lebih kreatif dan berkembang. Untuk jurusan, saya sarankan para orang tua memasukkan anaknya di jurusan yang dibutuhkan oleh dunia digital. Karena dunia digital menyerap banyak banget sumber daya dan SDM yang tersedia untuk dunia ini masih sedikit. Contoh jurusan itu misalnya multimedia atau teknik komputer.

Lalu kenapa SMK jadi alternatif menghindari sistem  zonasi? Karena sistem zonasi tidak berlaku untuk penerimaan siswa baru di SMK. Siswa bisa mendaftar sekolah di SMK manapun, bebas. Penyaringannya tetap berdasarkan nilai. Mau lokasi siswa di Jakarta Selatan tapi mendaftar di SMK di Jakarta Pusat boleh aja kok. Bebas deh.

Tapi sayangnya SMK saat ini nggak sebanyak SMA. Jadi pilihan SMK nya emang terbatas jadinya. Jika SMK baru susah didirikan lagi, saya berharap Kemendikbud menambah jenis jurusan di SMK. Jadi pilihan jurusan untuk anak-anak akan makin banyak dan para orang tua nggak lagi misuh-misuh sama sistem zonasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun