Bila saya mudik ke kampung saya di kawasan Jogja sana, ada satu hal yang tak pernah absen saya lakukan yaitu jalan-jalan ke sawah setiap pagi. Kegiatan pagi ini sering mengundang senyum saudara saya di kampung. Ngapain mbak jalan-jalan ke sawah, mending ke pantai.. katanya. Saya mesem saja, mereka tak mengerti bahwa memandang hamparan sawah hijau bagi orang yang terbiasa melihat hutan beton adalah kenikmatan yang hakiki.
Libur Lebaran kemarin adalah kali keempat buat saya mendatangi kampung halaman saya dalam dua bulan terakhir. Jogja cukup sering saya datangi belakangan ini. Kesehatan ayah saya mengharuskan saya sering-sering menengoknya. Lebaran tahun ini ayah sudah sehat seperti sedia kala dan saya bersyukur karenanya.
Lepas Lebaran, padi yang masih bayi sebulan lalu, sudah remaja kini. Katanya padi bisa dipanen 2 bulan lagi. Itu kalau sawah lancar mendapat air. Jogja tak hujan selama beberapa bulan. Alhasil sawah dialiri air secara bergiliran. Para petani harus mengecek sawahnya setiap hari untuk melihat kondisinya apakah cukup air, apakah tak dimakan tikus, apakah ada tanaman liar yang harus dibuang.
Melelahkan dan merepotkan.. mungkin ini yang membuat anak-anak muda tak terlihat turun ke sawah di wilayah kampung saya. Mulai pagi-pagi buta, banyak laki-laki dan perempuan berusia lanjut berangkat ke sawah dan bekerja. Rata-rata di atas 55 tahun. Mereka menggunakan sepeda kayuh atau sepeda motor yang sama tua dengan usia penunggangnya. Lengkap dengan sebotol air tergantung di bagian setang sepeda.
Meski tak kenal, tapi mereka akan menyapa jika berpapasan dengan saya walau hanya lewat sebentuk senyuman dan tak pernah penasaran bertanya kenapa saya sering memotret kondisi sawah. Bahkan tak menolak ketika saya minta ijin memotret mereka ketika sedang bekerja. Silakan mbak.. kata pak Sumardi, petani yang saya temui ketika jalan pagi. Jogja tak pernah kehilangan keramahannya.
Setiap saya ke sawah, saya mencari para pemuda anak-anak para petani, namun tak ada. Anak-anak muda ini lebih memilih bekerja di pabrik atau menjadi pengemudi ojek online. Saat ini ojek online sudah masuk kampung. Tahun lalu, saya sulit sekali memesan ojek online dari rumah saya di kampung karena rumah saya bukan di kawasan kota... di kampung banget.
Sesekali saya ngobrol dengan pengemudi ojek online yang membonceng saya. Sebut saja namanya Sanityo. Usia lewat 30 an dan punya 1 istri dan 2 anak. Ayahnya seorang petani yang punya beberapa petak sawah. Usia ayahnya 60 tahunan dan masih aktif bekerja di sawah. Ia tak pernah berpikir untuk menggantikan kerja ayahnya di sawah.