Mohon tunggu...
Ya Yat
Ya Yat Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Penyuka MotoGP, fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang banyak hal, Kompasianer of The Year 2016, bisa colek saya di twitter @daffana, IG @da_ffana, steller @daffana, FB Ya Yat, fanpage di @daffanafanpage atau email yatya46@gmail.com, blog saya yang lain di www.daffana.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mereka yang Dimakan Usia di Antara Hijaunya Sawah

25 Juni 2018   15:04 Diperbarui: 26 Juni 2018   03:07 2899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bukan petani cuman numpang jalan pagi (dok.yayat)

Bila saya mudik ke kampung saya di kawasan Jogja sana, ada satu hal yang tak pernah absen saya lakukan yaitu jalan-jalan ke sawah setiap pagi. Kegiatan pagi ini sering mengundang senyum saudara saya di kampung. Ngapain mbak jalan-jalan ke sawah, mending ke pantai.. katanya. Saya mesem saja, mereka tak mengerti bahwa memandang hamparan sawah hijau bagi orang yang terbiasa melihat hutan beton adalah kenikmatan yang hakiki.

Libur Lebaran kemarin adalah kali keempat buat saya mendatangi kampung halaman saya dalam dua bulan terakhir. Jogja cukup sering saya datangi belakangan ini. Kesehatan ayah saya mengharuskan saya sering-sering menengoknya. Lebaran tahun ini ayah sudah sehat seperti sedia kala dan saya bersyukur karenanya.

pergi bekerja (dok.yayat)
pergi bekerja (dok.yayat)
Terakhir saya ke Jogja, di hari ketiga puasa, hamparan sawah di dekat rumah baru selesai ditanami. Padinya masih bayi. Beberapa petak sawah malah belum ditanami padi. Tanahnya baru dibajak dan belum siap ditanami. Beberapa petak yang lain lagi sudah ditanami tebu.Batang-batang tebu terlihat rapat dan tinggi sekali. Jika batang tebu ini siap panen, terbayang rasa air tebunya yang manis sekali.

Lepas Lebaran, padi yang masih bayi sebulan lalu, sudah remaja kini. Katanya padi bisa dipanen 2 bulan lagi. Itu kalau sawah lancar mendapat air. Jogja tak hujan selama beberapa bulan. Alhasil sawah dialiri air secara bergiliran. Para petani harus mengecek sawahnya setiap hari untuk melihat kondisinya apakah cukup air, apakah tak dimakan tikus, apakah ada tanaman liar yang harus dibuang.

mbah menuntun sepedanya (dok.yayat)
mbah menuntun sepedanya (dok.yayat)
Pekerjaan sebagai petani memang melelahkan dan sayangnya hasil panennya pun tak seberapa. Ayah saya lebih memilih menumpuk hasil panennya untuk konsumsi sendiri ketimbang dijual lagi. Kata ayah, kalau dijual harganya tak sepadan dengan modalnya, lebih baik dimakan sendiri. Ayah saya lebih memilih menjual sayur-sayuran yang ditanam selang seling dengan waktu tanam padi.

Melelahkan dan merepotkan.. mungkin ini yang membuat anak-anak muda tak terlihat turun ke sawah di wilayah kampung saya. Mulai pagi-pagi buta, banyak laki-laki dan perempuan berusia lanjut berangkat ke sawah dan bekerja. Rata-rata di atas 55 tahun. Mereka menggunakan sepeda kayuh atau sepeda motor yang sama tua dengan usia penunggangnya. Lengkap dengan sebotol air tergantung di bagian setang sepeda.

sudah tua tak apa terus bekerja (dok.yayat)
sudah tua tak apa terus bekerja (dok.yayat)
Jogja panas tak terkira. Para petani ini memakai caping untuk melindungi kepala dari matahari. Untuk para ibu, caping biasanya ditutup dengan kain panjang dan kedua ujung kain dilibat ke leher dan diikat. Ini supaya caping tak jatuh ketika sedang bekerja dan melindungi kulit muka dari terik matahari.

Meski tak kenal, tapi mereka akan menyapa jika berpapasan dengan saya walau hanya lewat sebentuk senyuman dan tak pernah penasaran bertanya kenapa saya sering memotret kondisi sawah. Bahkan tak menolak ketika saya minta ijin memotret mereka ketika sedang bekerja. Silakan mbak.. kata pak Sumardi, petani yang saya temui ketika jalan pagi. Jogja tak pernah kehilangan keramahannya.

Setiap saya ke sawah, saya mencari para pemuda anak-anak para petani, namun tak ada. Anak-anak muda ini lebih memilih bekerja di pabrik atau menjadi pengemudi ojek online. Saat ini ojek online sudah masuk kampung. Tahun lalu, saya sulit sekali memesan ojek online dari rumah saya di kampung karena rumah saya bukan di kawasan kota... di kampung banget.

mbok penjual bayam (dok.yayat)
mbok penjual bayam (dok.yayat)
Tapi sekarang, begitu saya klik order dari rumah, ojek online akan menangkap orderan saya dalam hitungan menit. Lalu datang beberapa menit kemudian. Gampang banget. Ini karena pengemudi ojek online sudah banyak jumlahnya hingga tersebar sampai ke kampung. Bukan pemandangan aneh sekarang menemui para pengemudi motor dengan seragam helm hijaunya di pelosok kampung.

Sesekali saya ngobrol dengan pengemudi ojek online yang membonceng saya. Sebut saja namanya Sanityo. Usia lewat 30 an dan punya 1 istri dan 2 anak. Ayahnya seorang petani yang punya beberapa petak sawah. Usia ayahnya 60 tahunan dan masih aktif bekerja di sawah. Ia tak pernah berpikir untuk menggantikan kerja ayahnya di sawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun