Mohon tunggu...
Ya Yat
Ya Yat Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Penyuka MotoGP, fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang banyak hal, Kompasianer of The Year 2016, bisa colek saya di twitter @daffana, IG @da_ffana, steller @daffana, FB Ya Yat, fanpage di @daffanafanpage atau email yatya46@gmail.com, blog saya yang lain di www.daffana.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengintip Proses Rekaman Asmara di Tengah Bencana 2

4 Agustus 2017   21:27 Diperbarui: 5 Agustus 2017   00:04 3877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Puspaningrum.. saya ingin tau..  apa yang sedang terjadi di dalam Puspoyudan, kok sepertinya ramai sekali."

Kalimat ini saya dengar ketika saya memasuki ruang studio rekaman Cut2cut di bilangan Cawang Jakarta Selatan. 4 orang sedang berada di dalam ruang rekaman, membaca dialog sebuah cerita. Cerita itu adalah Asmara Di tengah Bencana yang memasuki season kedua. Sandiwara radio Asmara Di Tengah Bencana dibuat atas kerjasama dengan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Misinya adalah menyampaikan informasi tentang cara menanggulangi bencana yang dibalut dengan kisah cinta pada jaman kerajaan.

Yang seumur dengan saya (berasa tua nih) mungkin dulu pernah mendengar sandiwara radio di era Tutur Tinular dan Saur Sepuh. Dulu radio memang menjadi sarana hiburan kedua setelah televisi. Di jaman itu belum ada telephone genggam soalnya jadi berselancar di sosmed belum menjadi kebiasaan. Sandiwara radio menjadi acara favorit saya selain musik. Tutur Tinular dan Saur Sepuh adalah cerita mengenai jalan hidup manusia dalam drama percintaan di dunia persilatan.

Masuk ke era gadget yang serba digital saya melupakan sandiwara radio, disamping saya sendiri sudah sibuk dengan urusan pekerjaan, rumah tangga dan masalah hidup (halah). Ndilalahnya beberapa waktu lalu saya mendengar tentang adanya sandiwara radio Asmara Di tengah Bencana. Memori saya kembali ke masa Saur Sepuh, apalagi penggiat sandiwara ini adalah orang-orang yang sama membuat Saur Sepuh dan Tutur Tinular dulu.

Pak Harry dan pak Edi Dhosa (dok.yayat)
Pak Harry dan pak Edi Dhosa (dok.yayat)
Dengan perantara seorang teman di Bali (thanks to Anggi) yang adalah penggemar sandiwara radio dan tetap berhubungan dengan para penggiat sandiwara radio dari sanggar Pratiwi, saya datang untuk melihat bagaimana ADB 2 direkam. Tentu kesempatan untuk melihat proses perekaman ADB 2 tidak saya sia-siakan, terlebih para pengisi suara berkumpul di hari itu.. Kamis 3 Agustus 2017.

Pak Indra Mahendra menyambut kedatangan saya. Pria ramah ini mengenalkan saya pada para pengisi suara yang sedang bercengkrama di ruang tamu, sambil menunggu gilirannya untuk merekam suara. Upssss... ada bu Ivone Rose, mbak Ajeng, pak Edi Dhosa dan banyak pengisi suara yang lain.. termasuk pak Ferry Fadli. Suara para pemain ini akrab dengan saya beberapa tahun lampau. Pak Edi Dhosa adalah pengisi suara Raden Samba di serial Saur Sepuh. Sementara ibu Ivone Rose... siapa yang tak mengenalnya.  

Pak Indra Mahendra membawa saya ke ruang rekaman, untuk melihat proses rekaman suara. Ruangan terbagi 2, satu ruang untuk pak Indra dan pak Yoko memantau proses rekaman, serta ada satu orang lagi yang fokus memperhatikan layar monitor. Satu ruang lagi adalah ruang untuk rekaman suara. Ada 2 mik di ruangan ini lengkap dengan headphone. Suara dari ruang rekaman terdengan jelas ke ruang tempat saya dan pak Indra duduk. Dua ruang ini dibatasi kaca, sehingga saya bisa melihat para pengisi suara.

pak Azhari (dok.yayat)
pak Azhari (dok.yayat)
Ada 15 seri ADB 2 yang direkam hari itu. Perkiraan proses rekaman selesai jam 18.00. Masih ada cukup waktu untuk saya melihat proses rekaman dan berbincang dengan para pengisi suara. Fokus saya terpecah ketika pak Ferry Fadli masuk ke ruang rekaman dan bersiap untuk merekam suaranya. Pak Ferry Fadli adalah salah seorang yang memang ingin saya temui sore itu. Di Saur Sepuh, pak Ferry Fadli mengisi suara tokoh Brama Kumbara, si Satria Madangkara, tokoh sentral dalam cerita ini.

Suara pak Ferry Fadli masih terdengar sama seperti ketika ia mengsi suara Brama Kumbara. Masih empuk dan sangat khas. Sama khasnya dengan penampilan pak Ferry yang setia dengan ikat kepalanya. Di ADB 2 pak Ferry mengisi suara tokoh Jatmiko, tokoh sentral dalam ADB 2. Sambil memegang kertas bertuliskan dialog yang harus mereka ucapkan, para pengisi suara menunaikan tugasnya.

Yang menarik adalah para pengisi suara nggak pakai latihan dulu lho. Jadi ketika tiba gilirannya buat rekaman, para pengisi suara dipanggil masuk, lalu langsung merekam dialog berdasarkan naskah. Tak ada kesulitan sama sekali karena membaca dialog sudah seperti nafas sehari-hari kata pak Edi Dhosa, sudah terbiasa.

ibu Ivone Rose (dok.yayat)
ibu Ivone Rose (dok.yayat)
Pak Haryoko, sutradara ADB 2 menginterupsi proses rekaman jika ia merasa suara yang diucapkan kurang sesuai dengan yang ia inginkan. Fokus.. fokus.. suara nafasnya jangan begitu.. kan ambil nafas dari hidung dan keluarkan dari mulut.. begitu katanya kepada para pengisi suara. Proses pengambilan suara itu sendiri berjalan serius tapi santai. Kami tertawa juga kalau ada yang lucu terjadi dalam dialog yang direkam.

Tentang regenerasi dan imajinasi

Saya kembali ke ruang depan, ingin berbincang dengan para pengisi suara. Ada bu Ivone Rose yang saya ganggu dengan pertanyaan. Nggak sah datang tapi nggak tanya-tanya kan.. saya emang orang yang kepo. Saya tanyakan pendapat bu Ivone Rose mengenai kiprah sandiwara radio di era digital sekarang ini, apakah masih efektif untuk menyampaikan pesan.

Bu Ivone Rose yang ramah dan "ibu banget" dengan meyakinkan bilang bahwa di luar Jakarta, terutama di daerah jawa, orang masih tertarik untuk mendengarkan sandiwara radio. Jadi sebagai media penyampai pesan, cocok lah ya BNPB membuat sandiwara radio. Lagipula penggemar sandiwara radio juga banyak, malah ada komunitasnya segala, komunitas di mana teman saya bergabung. Dengan antusias bu Ivone bercerita bahwa saat ia ke Padang ternyata ada penggemar sandiwara radio yang tinggal di kota ini.

mbak Ajeng (dok.yayat)
mbak Ajeng (dok.yayat)
Mengenai regenerasi pengisi suara, bu Ivone bilang banyak orang yang tertarik untuk berprofesi sebagai pengisi suara. Jadi selama ada kesempatan, pastinya banyak orang yang bisa meneruskan profesi para pengisi suara. Yang susah itu sponsornya. Karena tak semua sponsor tertarik untuk membuat sandiwara radio, apalagi sponsor swasta. Padahal bisa aja sandiwara radio menjadi fasilitas untuk mengenalkan sebuah produk.

Kemajuan digital jangan dilawan tapi diikuti, begitu kata pak Ferry saat saya tanya pendapatnya mengenai era digital. Melawan kita akan kalah tapi mengikuti era digital akan membuat kita jadi pemenang namun hanya orang kreatif yang berpeluang menjadi pemenang karena itu jadilah orang-orang kreatif.. katanya lagi. Pak Ferry cukup prihatin dengan lambatnya regenerasi di profesi pengisi suara. Ketika saya tanya, darimana pak Ferry menilai bahwa regenerasi berjalan lambat, pak Ferry bilang nyatanya saya dipanggil buat isi suara lagi.. emang orang-orang nggak bosen apa. Hlaaaaa justru suara pak Ferry sangat ditunggu lho.

Sandiwara radio bisa membuat orang kreatif dan punya imajinasi, lanjut pak Ferry. Karena kita hanya mendengarkan dialog dengan tambahan efek. Lalu pikiran kita membentuk cerita yang kita dengar. Beda orang beda lagi imajinasinya. Seorang tokoh dalam sandiwara radio bisa persepsikan secara berbeda pada masing-masing orang. Itulah imajinasi. Mengenai gimana animo masyarakat menerima ADB 2 pak Ferry bilang nggak tahu karena beliau tidak mengikuti. Beliau hanya menunaikan tugasnya mengisi suara. Kocak ya pak Ferry hehehe.

pak Ferry Fadli (dok.yayat)
pak Ferry Fadli (dok.yayat)
Saat kami sedang asyik berbincang, ada panggilan untuk pak Ferry masuk ke ruang rekaman untuk merekam dialog. Pak Ferry berdiri dan berjalan ke arah ruang rekaman tapi kemudian berhenti dan berbalik ke arah saya. Mau foto-foto dulu nggak sama saya? Mungkin kamu mau pulang.. katanya. Saya bilang saya nggak terburu-buru dan pulangnya masih nanti. Pak Ferry bilang "oke" sambil menuju ke ruang rekaman lagi. Saya mesem-mesem sendiri.

Selanjutnya saya ngobrol dengan pak Edi Dhosa. Kalo soal regenerasi pak Edi Dhosa sangat optimis regenerasi di profesi ini berjalan cepat. Contohnya anak pak Edi Dhosa sendiri yang mengikuti jejak ayahnya. Emang profesi ini bisa jadi mata pencaharian utama yang menopang hidup pak? Tanya saya.. dengan rasa kepo. Pak Edi dengan yakin bilang tentu bisa. Contohnya ia sendiri yang menghidupi keluarga "hanya" dengan berprofesi sebagai pengisi suara. Profesi ini punya masa depan cerah kok.  

Becanda dulu (dok.yayat)
Becanda dulu (dok.yayat)
Pak Edi Dhosa cukup mengetahui kesan masyarakat pada ADB 2. Ia bilang masyarakat banyak yang suka. ADB 2 yang diputar di radio-radio di luar Jakarta emang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Pemutarannya pun di jam prime time pula. Cuma untuk membuat sebuah sandiwara radio emang biayanya cukup mahal, butuh sponsor makanya. Pak Edi Dhosa juga membuat naskah untuk sandiwara radio.

Hari makin sore dan proses perekaman suara selesai sudah. Para pengisi suara beranjak pulang. Sayapun pulang dengan membawa kesan pada keramahan orang-orang di sini. Semoga lain kali saya punya kesempatan berbincang lagi.

Pak Haryoko sang sutradara (dok.yayat)
Pak Haryoko sang sutradara (dok.yayat)
rekaman (dok.yayat)
rekaman (dok.yayat)
memantau (dok.yayat)
memantau (dok.yayat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun