Mudik buat saya adalah keharusan. Ayah saya tinggal seorang diri di sebuah kampung di Jogjakarta setelah ibu saya pergi selama-lamanya lima tahun lalu. Momen Lebaran menjadi waktu yang tepat bagi saya dan keluarga saya untuk pulang kampung. Lebaran adalah momen untuk silaturahmi sekaligus waktu untuk refreshing dari penatnya beraktivitas di Jakarta.
Proses mudik itu sendiri tak mudah. Mudik menggunakan kereta api buat saya saat ini menjadi impian semata. Susahnya membeli tiket kereta api yang dijual secara online membuat saya mengurungkan niat membeli tiket kereta api. Tiket sudah habis 5 menit setelah penjualan secara online dibuka. Jogjakarta adalah salah satu rute favorit para pemudik. Maka tak heran tiket akan ludes dalam sekejap.
Akhirnya saya harus merogoh kocek lebih dalam untuk menyewa mobil yang saya gunakan untuk mudik. Menyewa mobil adalah keputusan yang lebih masuk akal untuk saya sekeluarga, lima orang jumlahnya, untuk pulang menengok orang tua di Jogja. Lebih mahal memang.. tapi lebih nyaman. Kenapa tidak menggunakan bis? Bis sama susahnya dan harga tiket bis melangit saat musim mudik.
Menggunakan mobil untuk mudik, membuat saya menikmati perjalanan selama mudik dengan seutuhnya. Kami bisa lewat mana saja, mencari jalan yang tak terlalu macet dan bisa berhenti di mana saja. Banyak momen unik yang pernah saya alami selama mudik. Momen yang membuat saya menyadari bahwa walau proses mudik itu melelahkan tapi pantas untuk dilakukan.
Merasa senasib, kami berbincang sambil melepas lelah. Keluarga pemudik ini berasal dari Bekasi, tujuan mudiknya ke Solo. Dua keluarga ini bersaudara dan sama sama punya dua anak balita. Mereka menggunakan sepeda motor untuk mencapai kampungnya. Tas pakaian ditaruh di depan di bapak sebagai tempat anak pertama untuk duduk. Anak kedua dipangku si ibu dan ada kotak kardus diikat di bagian belakang motor. Sebuah pemandangan yang lumrah bagi pemudik yang menggunakan sepeda motor.
Kenapa nekat mudik dengan kondisi begini? Karena murah katanya. Ini adalah kali ketiga mereka mudik menggunakan sepeda motor. Sungguh saya tak berani membayangkan saat adik balita itu pertama kali diajak mudik menggunakan sepeda motor. Mbahnya mau liat cucunya, jadi tiap ebarang memang pulang, begitu kata si ibu. Saya berdoa salam hati untuk keselamatan mereka ketika mereka pamit pergi.
Untuk banyak orang, mudik menggunakan sepeda motor memang murah biayanya. Dengan mengenyampingkan keselamatan dan dinginnya angin malam, sebuah keluarga menempuh ratusan kilometer untuk pulang kampung. Motor sekecil itu ditumpangi orang tua dan anak-anaknya plus tas pakaian dan kerdus oleh-oleh.
Pemudik yang menggunakan bak terbuka juga banyak. Saya beberapa kali bertemu dua keluarga yang mudik menggunakan mobil bak terbuka. Bagian bak ditutupi dengan terpal untuk melindungi penumpangnya dari panas dan hujan. Pemudik bersesakan di dalamnya. Ada juga yang nekat, sudah bak terbuka diisi banyak orang eh masih bawa motor juga. Kebayang nggak jika motor rubuh dan menimpa orang-orang di dalamnya.
Orang seringkali mengabaikan keselamatan memang. Padahal jika kena musibah di jalan, niat ketemu orang tersayang di kampung halaman akan gagal total. Sering orang tak sabar untuk pulang kampung. Perjalanan panjang mestinya ditempuh dengan tidak terburu-buru. Ini bukanlah balapan yang dulu-duluan sampai ke finish. Perhitungkan waktu keberangkatan dan perhitungkan kemungkinan macet juga.