Saya mengenal Kompasiana sejak blog keroyokan ini tidak dibuka untuk umum. Dulu.. hanya wartawan dan orang tertentu saja yang bisa menulis di sini. Ketika membuka Kompasiana dulu itu.. ada dua penulis yang selalu saya cari dan baca tulisannya. Penulis itu adalah kang Pepih Nugraha dan mas Wisnu Nugroho. Dua penulis favorit saya ini menulis soal topik yang berbeda tapi ada rasa yang sama pada tulisannya yaitu enak dibaca dan bikin saya mesem sendirian.
Di dunia nyata kang Pepih dan mas Inu (panggilan mas Wisnu) sama-sama punya pribadi yang hangat, supel, tidak sombong dan rajin menabung (eh). Saya beruntung beberapa kali bertemu keduanya di tempat berbeda dan terus berkomunikasi dengan keduanya lewat social media. Saya bukan ingin membandingkan kang Pepih dan mas Inu lho.. cuman pamer aja kalo saya kenal sama mereka (dikeplak yang baca).
Mas Inu nggak aktif lagi menulis di Kompasiana, selain sibuk, ia tak lagi mengikuti kegiatan pak Beye (Presiden SBY) yang selalu menjadi topik tulisannya. Tapi mas Inu hadir di beberapa acara Kompasianival. Menegur para Kompasianer yang dikenalnya. Saya tak kehilangan tulisan mas Inu karena tulisannya masih saya baca melaui Kompas.com.
Perubahan desain Kompasiana selalu disambut kompasianer dengan pro dan kontra. Susah move on dari kenyamanan memang. Nyaman dengan desain Kompasiana yang begitu aja. Ketika Kompasiana dibawa menuju desain yang lebih modern, banyak protes mengemuka. Padahal setelah desain baru hadir, yang tak suka jadi suka. Nggak apa-apa.. yang penting protes dulu.. biar eksis hehehe.
Saya tak ingat kapan pertama kali ketemu kang Pepih, yang saya ingat, saat itu banyak kontra dengan desain Kompasiana yang sedang diperbaharui. Saya bertemu dengannya bersama seorang teman, teman ini yang banyak bicara dengan kang Pepih dan saya hanya diam mendengarkan. Rasa tak pede, membuat saya tak banyak bicara, selain karena saya memang orangnya pendiam.. diam-diam nabok.
Kaget juga saya waktu denger kang Pepih resign dari Kompasiana. Bukan hanya dari Kompasiana tapi juga dari Kompas yang telah membesarkannya. Adalah hak siapapun menentukan jalan hidupnya sendiri. Kalau saya di posisi kang Pepih, saya tak akan berpikir untuk keluar dari zona nyaman saya. Udah di situ aja sampe beneran pensiun. Zona nyaman memang melenakan.
Kang Pepih resign menjadi topik hangat kalau saya kumpul dengan para kompasianer yang ketemu di sebuah acara. Ini pengakuan.. bahwa kalau ketemu kompasianer, yang diomongin ya yang berhubungan dengan kompasiana. Saya mau ngomongin soal Valentino Rossi sebenernya, tapi mereka nggak pada ngerti (geleng kepala). Banyak yang penasaran bagaimana Kompasiana selanjutnya tanpa kang Pepih.
Ada dua hal yang akan saya ingat terus dari kang Pepih. Yang pertama adalah “konsisten”. Kata ini diucapkan kang Pepih saat memberikan Piala Penghargaan Kompasianer of The Year 2016 kepada saya. Yap.. saya akan berusaha konsisten dalam menulis terlebih karena saya sudah memutuskan untuk terjun sepenuhnya ke dunia ini. Yang kedua adalah Piala Penghargaan itu. Saya adalah orang terakhir yang diberikan Piala Penghargaan Kompasiana oleh kang Pepih dan saya juga mendapat piagam penghargaan terakhir yang langsung ditandatangani oleh kang Pepih. Cukup membanggakan. Kira-kira di media barunya kang Pepih ada bagi-bagi piala nggak ya hehehe (terkode). Selamat berkiprah di tempat baru ya kang Pepih.