Mohon tunggu...
Ya Yat
Ya Yat Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Penyuka MotoGP, fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang banyak hal, Kompasianer of The Year 2016, bisa colek saya di twitter @daffana, IG @da_ffana, steller @daffana, FB Ya Yat, fanpage di @daffanafanpage atau email yatya46@gmail.com, blog saya yang lain di www.daffana.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Singkong

22 Januari 2010   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_67988" align="alignleft" width="300" caption="ungguh dari google"][/caption] Ini cuma masalah remeh tentang singkong tapi efek dari masalahnya terhadap saya ternyata tidak seremeh yang saya duga. Awalnya ketika kebun singkong ayah saya di kampung di pelosok Jogja sana panen bertepatan dengan jadwal tilik nya saya ke Jogja. Pemandangan ayah dan paklik serta bulik saya mencabuti singkong betul betul saya nikmati. Maklum, di Jakarta kan biasanya singkong sudah dalam keadaan siap dijual. Sesekali saya ikutan mencabut juga, supaya tidak dianggap anak tidak sopan yang tidak mau membantu orang tua. Hasil panen singkong ayah saya lumayan banyak. Setelah di timbang ternyata 120 kilo jumlahnya. Kata ayah per kilo nya seharga 800 rupiah dan sudah dibeli oleh paklik dan bulik saya yang membantu mencabuti singkong. Paklik dan bulik saya memang berjualan getuk di pasar bantul tiap pagi. Singkong dijual harga saudara karena harga normal di pasaran sekitar 1.300 rupiah. Kenapa nggak jual harga 1.000 pak ? segitu kemurahan harganya, kata saya. Nggak apa apa sama saudara, toh bapak sering dibantu juga, jawab ayah saya. Ibu membisiki saya, katanya singkong biasanya baru dibayar sebulan kemudian. What ?!! saya kaget tapi tidak mau berkomentar. Ini soal sensitif sepertinya. Di hari berikutnya pakde dan bude dari pihak ibu datang ke rumah. Tujuannya selain silaturahmi juga bemaksud membeli singkong hasil panen ayah saya. Di kampung pakde dan bude saya tanaman singkong tidak tumbuh karena tanah di sana berpasir. Sebagai penjual penganan yang terbuat dari singkong ( saya lupa namanya tapi kalau di jakarta disebutnya Misro ), hasil panen ayah saya tentu sangat diharapkan oleh mereka. Aku bayari 1.000 rupiah atau kalo mas mau lebih juga boleh.. tunai, kata mereka. Inget "tunai" kok jadi inget ijab kabul ya ( hlo?!! ). Tentu tidak bisa karena singkong sudah dibeli saudara. Ketika saya tanya apakah ayah saya menyesal sudah menjual singkong dengan harga lebih murah ke paklik dan bulik saya dan kredit pula, ayah saya menjawab, "kalau kita hanya berpikir soal harta nggak akan ada habisnya. Terasa kurang terus. Dan hidup kita terus berkejaran dengan harta. Harga segitu cukup buat bapak dan ibu. Toh kalau hanya sekedar makan tinggal petik saja yang ada di kebun. Tidak akan habis dimakan berdua." Jawaban sederhana yang bermakna buat saya. Otak ekonomi saya selama ini hanya tahu untung dan untung saja. Beli murah dan jual dengan mahal. Apalagi dengan pendapatan yang selalu berkejaran dengan biaya membuat pemikiran selalu ke soal uang dan uang saja. Betapa pengingatan dari buku atau kalimat teman kadang hanya lewat tanpa sempat mengendap di otak saya. Dan kalimat yang keluar dari mulut ayah menyadarkan saya. Saya bersyukur tidak melewatkan jadwal tilik kali ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun