Mohon tunggu...
Aksi Cepat Tanggap
Aksi Cepat Tanggap Mohon Tunggu... Jurnalis - Organisasi Kemanusiaan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menjadi organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik http://act.id Aksi Cepat Tanggap (ACT) Foundation is a professional global humanitarian organization based on philanthropy and volunteerism to achieve better world civilization

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pembiaran yang Menghancurkan

28 Juni 2016   10:52 Diperbarui: 28 Juni 2016   12:33 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Iqbal Setyarso  |  Direktur Komunikasi ACT

 

Harga-harga melambung, bukan semata-mata pokal pedagang lalu semua sepakat menggugat. Ini  bukan soal hukum ekonomi supply and demand belaka. Seharusnya urusan ini ada dalam genggaman pemerintah, apa yang diingatkan dalam hadits, kullukum ra’in wa kullukum mas ulun ‘an-ra’iyyatihi: setiap dari kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Rakyat tercekik harga, tanggungjawab pemimpinnya.

ITU baru satu soal: harga. Ada banyak problem lain, yakni meruyaknya faham hedonis dan menghebatnya segala fasilitas pemicunya. Faham hedonis, hidup konsumtif diperkokoh dengan maraknya pusta-pusat perbelanjaan, tanpa diikuti upaya konkret menguatkan daya beli. Kemiskinan dan pemiskinan dimulai dari kebijakan yang tak menyentuh langkah mengerem laju hedonism. Rakyat menjadi tergiur berbelanja, sementara kapasitas mengelola sumberdaya dalam dirinya lemah.

Asset pokok berupa tanah-tanah rakyat, dalam sekejap pindah kepemilikan hanya demi mengggelar pesta perkawinan dengan jamuan dan pertunjukan meriah di desa atau pinggiran kota. Rakyat yang tadinya memilik tanah, karena krisis kapasitas, memilih materi ketimbang mengelola lahannya. Jadilah, sudah tak punya keterampilan, tak punya asset pula.

Di sinilah makna pengelola urusan rakyat harus berbicara. Pemangku perlu  turun tangan. Alih-alih menguatkan kebijakan pro rakyat, justru berbagai kemudahan investasi mewarnai Perda bahkan Undang-undang. Bencana sosial yang dapat lebih berat impaknya daripada bencana alam, mulai menerpa negeri. Di mana ada tanah strategis-- termasuk sawah dan ladang--di situ menjelma pusat perbelanjaan megah. 

Hingga kini tak ada kebijakan hebat memulihkan kemampuan negeri memproduksi beras, daging dan protein secara mandiri. Kebutuhan pokok pun malah tak apa kalau memang harus mengimpor. Neraca perdagangan jomplang. Antara yang diekspor dan diimpor, kalah jumlah. Rupiah terus membesar angkanya, dan mengecil nilai tukarnya berhadapan dengan mata uang asing.

Ketika gejala pemiskinan bekerja massif, bahkan teratur dan “terlindungi”, inilah wujud nyata pembiaran atas kejahatan kemanusiaan. Sebuah bangsa kehilangan kedaulatan, ketika perut rakyat harus diisi bahan pokok yang tak lagi diproduksi sendiri. Semua disiapkan asing. Sebelum rakyat kehilangan tanah, alangkah elok pemerintah membuat kebijakan menyelamatkannya; ketika petani dalam negeri terseok, pemerintah perlu menolong agar saatnya negeri bertanah luas ini tak perlu mengimpor; saat nelayan lesu tak sanggup sekadar mengongkosi perahu dengan bahan bakar untuk melaut, pemerintah menolong agar saatnya ikan-ikan bisa dihasilkan dari laut kita sendiri. Sekali lagi, tak lagi perlu mengimpor.

Tampaknya kini kjita lebih peka pada ‘dosa individual’, selayaknya sesuatu yang akrab di ranah kriminal. Ketimbang dosa sosial yang membawa dampak lebih massif bahkan berkelanjutan. Allah berfirman, wattaquu fitnatalladziina dhalamuu minkum khaassah, wa’lamuu annaLLaha syadiidul’iqaab, dan peliharalah dirimu dari siksa yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya (Qs. Al-Anfal: 25).

Membuka ruang hedonisme merajalela di satu sisi, sama saja melemahkan daya sangga masyarakat atas kebutuhan pokoknya di sisi lain. Ini bagian dari kedzaliman kolektif. Dalam kondisi seperti ini, maka menjadi kewajiban kita untuk terus mengingatkan, jangan lagi ada kebijakan yang membuat entitas rakyat manapun di negeri ini kehilangan kapasitasnya dalam menjaga kemandirian. Kalau tidak, itu kedzaliman namanya. Abu Bakar r.a. berkata,c ”Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya jika orang-orang melihat orang berbuat dzalim lalu tidak mencegahnya, maka hampir saja menimpakan siksa secara menyeluruh kepada mereka.” (h.r. Tirmidzi)

Tulisan ini menjadi salah satu bentuk peringatan itu. Lebih sebagai cara agar kita bisa menggugurkan kewajiban mengingatkan. Kita sapa wakil-wakil rakyat, hentikan memproduksi kebijakan yang tidak pro rakyat. Kita sapa pelaksana pemerintahan di level manapun, jangan biarkan kapitalisme merajalela mematikan usaha mikro, kecil dan menengah. Kalau tidak, bencana sosial akan datang, sebuah wujud bencana yang traumanya sulit dipulihkan. Berbeda dengan bencana alam–di mana manusia bisa pasrah atas takdir, pada bencana sosial masyarakat merasakan proses pemiskinan yang menimpanya. Mereka akan dilbas kemarahan, mempengaruhi doa-doa mereka yang akhirnya mengusik kedamaian di sebuah negeri. 

Inilah, bahayanya pembiaran. Kata Nabi, “Apabila kamu melihat ummatku tidak mau mengatakan kepada orang yang berbuat dzalim di antara mereka, kamulah orang yang berbuat dzalim, maka mereka dibiarkan dalam kemaksiatan yang mereka lakukan dalam keadaan hina,” demikian diriwayatkan Ahmad.

Mari, awasi dan ingatkan bersama setiap terjadi peluang yang merugikan masyarakat, lakukan dengan jalan formal dan bertanggungjawab.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun