[caption caption="kehidupan di pulau buru"][/caption]
Satari I Global Philanthropy Media
SIANG yang cerah menyapa warga pinggir laut di Desa Waela, Kecamatan Batabual, Kabupaten Buru. Ombak pantai yang berkecipak berkilat-kilat ditingkahi cahaya mentari menambah eksotika alam Pulau Buru.
Seorang perempuan tua, dengan lengannya yang legam dan agak kurus, menyekop bebatuan yang bercampur pasir pantai. Sesudah dimasukkan ke karung, material tersebut ia angkat dan masukkan ke sebuah gerobak kayu. Sesudah penuh, gerobak kayu ia hela menuju rumahnya yang berjarak sekitar 1000 meteran. Lalu bebatuan bercampur pasir diturunkannya sendiri, ditimbun dan ditata dengan menggunakan sekop yang sama. Sehari, ada sekitar dua sampai tiga kali perempuan itu mengangkut bebatuan bercampur pasir. Keringat nampak mengucur di wajahnya yang nampak renta. Diusirnya keringat dengan kain sarung yang ia gunakan melindungi wajahnya dari terik matahari.
Ichi, sekira berusia 40 tahun, telah melakukan hal itu selama sebulan terakhir. Mengumpulkan material bangunan yang disediakan alam untuk memperbaiki rumahnya yang mulai tak layak huni. Rumah warisan dari almarhum suaminya itu dinding kayunya sudah banyak melapuk dan berlubang dimakan usia. Jika malam tiba, angin pantai yang cukup dingin bebas masuk ke kamar-kamar rumah sederhananya itu, hingga membuat tak nyaman.
Apabila hujan turun, rumah bocor pun selalu terjadi. Pasalnya, atap rumah yang saat ini terbuat dari daun rumbia sudah banyak yang hancur.
“ Saya mengangkut pasir dan batu-batu sendiri untuk memperbaiki rumah,” tutur Ibu Ichi. Dengan tenaga yang dimiliki dan uang seadanya, Ibu Ichi bertekad akan memperbaiki rumahnya hingga menjadi lebih nyaman ditinggali diri dan ketiga anaknya, buah cinta dari suami almarhum. Ketiganya, yang tertua baru kelas lima SD, adiknya kelas dua, dan yang paling kecil belum bersekolah.
(Ibu Ichi menjadi representasi dari potret kemiskinan di Pulau Buru. Sebagian orang yang berkunjung di Pulau Buru, mengira pulau seluas 8.473, 2 kilometer persegi tersebut sudah banyak yang makmur. Pasalnya, pulau yang dulu dikenal sebagai tempat pengasingan narapidana politik di era pemerintah Orde Baru ini tersohor sebagai produsen padi yang melimpah, sehingga kondang sebagai pulau lumpung pangan.
Namun sayangya, keberlimpahan pangan ini hanya dinikmati oleh warga yang tinggal di dataran Waeapo. Apalagi belakangan, dikabarkan adanya penemuan tambang emas di sana. Nyatanya potret kemiskinan masih banyak ditemukan di wilayah-wilayah lain di Pulau Buru.
Seperti Ibu Ichi, rumah kayu dengan atap rumbia yang sudah bolong di berbagai tempat menggambarkan kemiskinan penghuninya. Rumah seperti itu juga banyak didapati dan dimiliki ribuan warga Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku.
Di Namlea, sebagian besar warga miskin di pulau ini bekerja kasar dan berkebun, seperti menjadi buruh penyulingan daun kayu putih dengan upah hanya tujuh ribu rupiah per hari. Ada juga yang mencari ranting kayu kering di hutan untuk memasak dan dijual seharga Rp 250 per meter.
Banyak anak-anak di Pulau Buru putus sekolah karena tidak punya biaya. Sebagian dinikahkan dalam usia sangat muda oleh orangtua mereka).