Hutang piutang dalam Islam adalah termasuk amalan sunah yang bisa bernilai pahala jika didasari niat untuk tolong menolong. Semakin berkembangnya zaman maka muncullah bank sebagai lembaga yang mewadahi praktik transaksi keuangan yang lebih tersistem bagi masyarakat.Â
Baik tabungan, peminjaman, kredit dll.Namun dalam perjalanannya bank masih memiliki satu kontroversi yang sangat bertentangan dengan nilai agama, yaitu adanya praktik bunga atau riba secara terang-terangan di dalamnya.
Lalu terciptalah bank syariah sebagai solusi, namun kemudian ada satu kontroversi yang perlu pemahaman dan pelurusan kembali tentang beberapa istilah dalam sistem syariah salah satunya Ta`widh. Ta`widh merupakan ganti rugi yang dibebankan kepada nasabah yang sengaja melakukan perbuatan baik berupa keterlambatan pembayaran atau hal lain yang mengakibatkan bank mengalami kerugian secara riil.(kumala,Brik 2018).Â
Yang menjadi persoalan yang banyak diperdebatkan adalah tentang hukum adanya Ta`widh dalam hutang piutang terutama yang diberlakukan dalam sistem perbankan syariah yang dianggap mirip seperti riba jahiliyah. Â
Menurut Blog Gramedia Digital, Riba jahiliyah sendiri adalah tambahan atau kelebihan nominal pelunasan hutang yang melebihi dari pokok yang sebenarnya atau yang dipinjamkan. Umumnya hal tersebut dilakukan apabila peminjam tidak bisa melunasi dalam waktu yang telah disepakati. Â
Praktik riba sendiri sudah ada sejak lama dan sudah lama juga dilarang terutama dari dasar agama, karena riba bisa merugikan salah satu pihak yaitu yang berhutang karena biaya tambahan yang dibebankan kepadanya, yang pada dasarnya pada saat itu orang yang berhutang adalah orang yang pasti memiliki latar belakang ekonomi yang kurang.Â
Jadi tidak semestinya orang yang butuh pertolongan malah dijatuhi beban berlebih dengan adanya riba. Â
Namun sistem hutang saat ini memang berbeda. Dengan adanya bank tidak semua orang bisa berhutang disana, banyak syarat kredibilitas nasabah yang harus dipenuhi. Dan hampir rata-rata nasabah berhutang adalah untuk membangun usahanya atau keperluan yang tidak ditujukan untuk kehidupan sehari-hari.Â
Jadi bisa disimpulkan orang yang berhutang di bank adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas mumpuni atau paling tidak punya penghasilan tetap. Â
Larangan riba sendiri tegas dikatakan dalam Al-Qur`an di antaranya dalam Surat An-Nisa ayat 161. Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa riba adalah kegiatan yang dilarang apalagi dimanfaatkan sebagai pembiayaan kehidupan sehari-hari, sebab uang tersebut didapatkan dengan cara yang bathil dan tidak diridhai Allah. Dan Allah telah menjanjikan siksaan pedih untuk orang-orang kafir. Â
Lalu bagaimana dengan ganti rugi yang dibebankan karena inflasi? Â Seperti yang kita ketahui, mata uang yang kita gunakan sehari-hari adalah mata uang yang sangat rentan terkena inflasi.Â
Bahkan jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun saja, nilai tukar rupiah sudah sangat berubah dari kisaran Rp 9.700/USD. menjadi kisaran Rp 14.852/USD. Berbeda dengan dinar dan dirham yang memiliki kecenderungan inflasi yang kecil.Â
Nilai uang juga berbeda dengan emas dan perak, karena emas dan perak memiliki nilai intrinsik sedangkan uang terutama uang kertas sendiri, nilainya adalah sebuah kesepakatan masyarakat dan sebuah keputusan yang diakui pemerintah sebagai alat tukar yang sah dalam suatu negara.Â
Lalu bagaimana jika utang piutang menggunakan uang dan bagaimana dengan pemberlakuan biaya ganti rugi karena inflasi yang terjadi? Menurut Muhammad Abdul Wahab,2018. Dalam hal ini ada 3 pendapat yang dikemukakan para ulama tentang apa yang wajib dibayar peminjam ketika uang mengalami kenaikan atau penurunan nilai tukar.
1. Jumhur Ulama menganggap bahwa uang adalah barang mitsliyyat yang harus dikembalikan dengan jumlah yang sama dengan pada saat dipinjamkan terlepas dari naik atau turunnya nilai mata uang tersebut pada saat itu.Â
2. Abu Yusuf memandang bahwa jika terjadi kenaikan maupun penurunan nilai uang selain emas dan perak, maka harus dibayarkan sesuai dengan nilai uang pada saat utang dilunasi. Â
3. Pendapat Syadz dari Malikiyyah yaitu pendapat tidak masyhur dari kalangan malikiyyah membedakan dari fluktuasi naik turunnya nilai yang tertinggi dan rendah. Atau bisa dikatakan pendapat ini adalah bersifat situasional. Jika kenaikan ataupun penurunan terjadi secara drastis atau berpengaruh besar, maka pelunasan menggunakan nilai mata uang pada saat utang dilunasi.Â
Namun, jika kenaikan dan penurunan yang terjadi hanya sedikit, dan dianggap tidak berpengaruh, maka yang tetap wajib dibayarkan adalah nilai nominal yang sama dengan uang yang dipinjam. Â
Riba sendiri adalah penambahan suatu nilai atau nominal dari suatu hutang melebihi nominal pokoknya. Yang biasanya sudah disyaratkan saat transaksi hutang piutang. Dan sedangkan Ta`widh adalah ganti rugi karena inflasi yang dibebankan kepada yang berutang,Â
karena dia adalah pihak yang disebut yad dhaman, atau pihak yang berkewajiban menjamin pengembalian harta yang dipinjamnya dengan nilai yang sama persis dengan pada saat dipinjam. Â
Berbeda dengan riba, ta`widh ini adalah biaya tambahan yang tidak disyaratkan sebelumnya dalam akad, sehingga tidak termasuk riba jika melihat dari pengertiannya. Karena inflasi sendiri bukan sesuatu yang bisa dipastikan nilai besarannya, yang dimana tidak dihitung pada saat berhutang tapi dihitung kembali saat waktu pelunasan.Â
Dan begitu pula jika yang terjadi sebaliknya, jika tidak terjadi inflasi maka tidak ada biaya tambahan ganti rugi apapun yang ditanggungkan pada peminjam. Berbeda dengan riba yang tamabahannya sudah diperhitungkan di awal akad dengan jumlah yangtelah disepakati bersama. Jadi bisa disimpulkan bahwa Ta`widh berbeda dengan riba. Baik dari sistem maupun latar belakang alasannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H