[caption caption="Sumber: www.patheos.com"][/caption]Sambil menunggu Bus Puspa Indah jurusan Malang-Jombang, saya merogoh kantong jaket buat menyiapkan ongkos bus itu. Jari-jari saya tiba-tiba meraba lipatan kertas dalam saku jaket tersebut. Bukan selembar uang, melainkan sepucuk surat dari anak perempuan saya yang baru saja saya tengok di pondoknya.
Surat itu berisi permintaan maaf atas segala kekhilafan yang pernah dibuatnya. Di sisi lain dia minta didoakan agar sukses dan lancar dalam menjalani ujian akhir semesternya.
Sebagai seorang bapak, tentu saya merasa bangga terhadapnya. Dalam usia semuda itu begitu pandainya dia mengungkapkan rasa terima kasih atas kasih sayang yang selama ini saya berikan kepadanya.
Selepas membaca surat itu, ada pertanyaan yang tertinggal dalam kepala saya. Jika saya begitu bangga terhadapnya, lantas kebanggaan apa yang dimilikinya terhadap saya?
Kebanggaan yang dirasakan oleh anak-anak kita, bisa saja datangnya dari status sosial yang kita sandang atau dari kekuasaan yang sedang kita pegang. Kebanggaan mereka bisa juga bersumber dari limpahan harta kita atau dari kegantengan maupun kegagahan kita.
Namun demikian, di atas semua itu terdapat sebuah sumber sangat krusial yang menyebabkan anak-anak bangga terhadap kita. Sumber yang dimaksud bukanlah hal bersifat fisik semata. Sebab, tidak terhitung jumlah anak yang berbapak seorang penyandang difabel namun mereka tetap bangga terhadap bapaknya itu. Kebanggaan itu berasal dari tingkah laku kita sendiri.
Bahagiakah anak-anak kita manakala kita bertingkah laku ala kriminal sehingga menyandang predikat sebagai seorang koruptor, bandit kelas kakap, tukang selingkuh, pelaku KDRT, pemabuk, penjudi? Ah, sudahlah, tak dijawab sekalipun kita akan tahu jawabannya.
Mereka merasa tersiksa manakal bapaknya menyandang status buruk tersebut. Di sekolah mereka akan mendapatkan bully dari teman-temannya. Nelangsa, sungguh kita telah memberikan keburaman dan kesengsaraan bagi anak-anak kita.
Tingkah laku kita, bila diumpamakan pada lembaran uang 100.000 rupiah, nilainya sama dengan angka satu. Berkat angka satu itulah angka nol di belakangnya memiliki nilai. Seandainya angka satu itu angkat kaki dari lembaran uang tersebut, akankah angka nol bernilai? Tentu tidak. Nol akan tetap menjadi nol. Seberapapun banyaknya angka nol akan tetap menjadi nol besar!
Maka dari itu, sebelum kita berbuat sesuatu, berpikirlah matang-matang. Jangan sampai kelakuan kita memupus kebanggaan anak keturunan kita. Tingkah laku kita adalah gerbang yang mengantarkan anak-anak kita kepada rasa bangga terhadap kita. Kebanggaan itu akan tetap melekat di hati mereka. Tak akan pernah lekang. Sekalipun jasad kita telah tiada.
Â
Artikel ini dimuat pula dalam blog pribadi saya: www.tipsmencarijodoh.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H