Mohon tunggu...
Yayan Isro' Roziki
Yayan Isro' Roziki Mohon Tunggu... -

penikmat secangkir kopi.. saat ini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merindukan Sang Pembangkang (Mengenang Sosok Mbah Maridjan)

19 Januari 2011   17:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:23 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perawakannya kecil, jalannya sudah mulai lamban walau pun ia masih mampu menempuh puncak Merapi dengan berjalan kaki, bahkan lebih gesit dan lebih cepat dari orang-orang muda yang masih segar bugar dan kelihatannya kuat, begitu kenangan yang terlintas akan sosok Mbah Maridjan sewaktu ia masih hidup. Namun, perawakannya yang kecil bukan berarti kesetiaan dan dedikasi terhadap tugas yang diembannya juga kecil, bahkan dedikasi terhadap tugas yang diembannya begiru besar, sampai maut menjemput dan ajal meregang nyawa ia tetap setia dengan tugas yang diembannya.

Keengganannya mengungsi ketika terjadi erupsi Merapi, mungkin dalam kacamata sebagian orang adalah tindakan menantang maut yang konyol. Namun, bagi Mbah Maridjan turun dari lereng Merapiadalah sesuatu yang pantang dilakukannya, sebab ia ditugaskan HB IX untuk memantau Merapi, hanya titah sang Raja saja yang bisa membuatnya tunduk pada perintah, bukan dari Gubernur Yogyakarta. Dalam pandangan Mbah Maridjan mati dalam menjalankan tugas dan amanah yang diembannya adalah bukti keteguhan hati dari sifat seorang ksatria sejati, baginya lebih baik mati dalam menjalankan tugas daripada mati dalam pengungsian.

Ia menjalani dan menghayati tugas juru kunci Merapi yang dibebankan kepadanya sebagai amanah dan tanggung jawab, bukan sebagai profesi apalagi mata pencaharian. Saat ditanya tentang pembangkangannya untuk bertahan di atas dengan, "Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini", begitu jawabnya dengan ringan. Bukan tidak mungkin ia memang merindukan kematian di sisi Merapi, ibarat ksatria yang memimpikan kematian di medan laga, bukan dalam empuknya kasur.

Selamat jalan Mbah, kenangan akan kesederhanaan hidupmu, dan dedikasimu terhadap amanah yang kau pikul akan tetap hidup dalam benak kami.


Ditengah-tengah carut-marut politik, kebohongan dan dusta para pemimpin kami yang duduk manis di atas singgasananya, kami merindukan akan sosok dan kepribadianmu yang juur dan sederhana, yang rela berkorban demi sesama tanpa memikirkan pamrih yang kelak hendak diterima.

Ahh.., seandainya para pemimpin di atas sana mempunyai kesederhanaan dan sikap ksatria sepertimu, tak akan begini jadinya negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun