Mohon tunggu...
Yayan Isro' Roziki
Yayan Isro' Roziki Mohon Tunggu... -

penikmat secangkir kopi.. saat ini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kontekstualitas Al-Qur'an

6 Desember 2010   12:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:58 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam cataan sejarah, dalam perang Shiffin (657 M), para pendukung Mu'awiyah memohon agar perselisihan dan permusuhan mereka dengan Ali bin Abi Thalib dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai penengah. Penggalan kata-kata Ali di bawah ini, merefleksikan dilemma yang dihadapi oleh seorang Muslim yang berkomitmen terhadap Al-Qur'an:
"ketika Mu'awiyah mengajakku untuk merujuk pada Al-Qur'an dalam membuat suatu keputusan, aku tak sanggup memalingkan wajahku dari Firman Allah itu. Allah Yang Maha Suci berfirman: "jika kamu berselisih tentang sesuatu, kembalikan kepada Allah dan utusan-Nya". Akan tetapi, inilah Al-Qur'an itu, yang ditulis, dan berdiri di antara dua belah pihak, namun ia (Al-Qur'an) tidak berbicara dengan lidahnya, ia butuh penafisran, dan para penafsir adalah manusia".
"Para Penafsir adalah manusia" yang tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi sosial dan lingkungan di mana ia berada. Tentu saja, setiap generasi Muslim sejak zaman Nabi Muhammad, karena membawa kekhasan kondisi zamannya masing-masing telah menghasilkan penafsiran dan pemahaman mereka sendiri tentang Al-Qur'an.
Dengan kata lain, percaya pada relevansi Al-Qur'an tidaklah sama dengan percaya pada teks yang tak terbatas ruang dan waktu, tanpa proses penafsiran dari para penafsir Al-Qur'an hanyalah teks bisu yang tak bersuara. Untuk menghubungkan Al-Qur'an dengan koteks kekinian umat Islam perlu menghubungkannya dari suatu momen historis, itulah fungsi dari asbabun nuzul. Tak mungkin Al-Qur'an menjadi wahyu, jika tidak pula terkait dengan berbagai peristiwa yang melingkupinya. Ada basis teologis dan historis untuk membenarkan pendekatan kontekstual terhadap Al-Qur'an dan peran orang-orang yang berusaha menguraikan dan menemukan maknanya sehingga sesuai dengan konteks "di sini" dan kekinian.Dengan tanpa ragu dan dengan penuh keyakinan, saya berpendapat bahwa kaum Muslim tidak berdebat soal hakikat dan mukjizat Al-Qur'an, tetapi mereka berbeda pendapat soal bagaimana peran, penafisran dan cara memahaminya.

Wallahua'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun