Mohon tunggu...
Yayak Mahardika
Yayak Mahardika Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penggemar gorengan sekalian penyruput kopi | pemerhati cewek |bukan cowok | Menulis curahan hati di |https://lukojoyosindikat.wordpress.com| yayak.mahardika@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memaknai Puasa Sebagai Hubungan dengan Tuhan dan Manusia

10 Juni 2016   17:35 Diperbarui: 10 Juni 2016   17:45 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puasa bukan ritual tahunan yang hanya dimeriahkan oleh sirup marjan belaka, puasa tidak hanya ibadah berdimensi vertikal (hubungan dengan Tuhan) saja, ia juga termasuk ibadah berdimensi horisontal (hubungan dengan manusia)”. Temanku nyeletuk pembicaraan.

Siang itu di hari keempat Ramadhan, kami bersua di mal Jakarta Pusat. Sebagai informasi, temanku dulu waktu di pesantren sangat teguh memegang ajaran syariat dan tradisi di pesantren.

“Sebagai manusia kita harus jujur. Selama ini, manusia hanya mudah menemukan Tuhan di balik kesulitan yang menjeratnya. Karena kesulitan yang dialami, getaran hatinya selalu menyebut nama-Nya, pun mulutnya komat kamit mengucapkan kalimat toyyibah, berharap supaya kesulitan yang ia hadapi cepat berakhir. Manusia dengan percaya diri dan merasa tak berdosa beranggapan, kalau ia sedang dilihat dan diperhatikan Tuhannya. Meski, Tuhan sebetulnya selalu memperhatikan manusia dalam kondisi apapun. Namun, setelah kesulitan berubah menjadi kebahagiaan. Tuhan sulit ditemui, seakan berlari menjauhinya bukan karena Tuhan meninggalkannya. Tapi manusialah yang lupa kepada Tuhannya. Tipikal manusia seperti itu banyak sekali ditemui. Disitulah hikmah berpuasa karena sejatinya puasa adalah cara tuhan memanggil kita, supaya mendekat kepada-Nya (hubungan dengan Tuhan)”. Imbuh temanku.  

“Lalu, bagaimana puasa sebagai hubungan dengan manusia?”. Tanyaku.

Temanku membacakan sebuah hadist,......

“Barang siapa yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun.” (HR. At Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits Hasan Shahih”)

“Hadist tersebut menjelaskan, bahwa Rasul juga mengajarkan untuk berjiwa sosial atau tolong menolong di atas kebaikan dan ketaqwaan. kita diajarkan tak pelit memberikan makanan bagi setiap orang yang sedang lapar terlebih bagi mereka yang berpuasa”. Papar temanku.

“Selain itu, puasa diyakini dapat menumbuhkan jiwa sosial atau kesadaran bermasyarakat. Berpuasa pasti merasakan lapar dan haus. Sementara lapar dan haus satu hal yang kerap dialami orang tak mampu. Dengan merasakan lapar dan haus diharapakan menumbuhkan kesadaran untuk turut memikirkan dan membantu orang-orang disekitar kita yang membutuhkan pertolongan”.  Lanjut temanku.

 “Lebih ekstrim saya maknai puasa adalah pertarungan antara iman dan nafsu. Tidak menjadikan berbuka sebagai ajang balas dendam saja dianggap luar biasa. Berbuka dengan secukupnya dan tidak melahap semua hidangan berbuka. Itu contoh kecil. kalau puasa hanya sekadar menahan lapar dan dahaga kemudian waktu berbuka makan habis-habisan, Anak kecil dikampungku juga bisa”. Tutupnya.

Plak!,omongan temenku tersebut berhasil menusuk hatiku.

“Maksudnya?”. Aku menyela temanku.

“Bagi hamba amatir seperti kita, memang puasa hanya menahan lapar dan haus saja. Ruh spiritualitas puasa tak berbekas sama sekali artinya tidak ada perubahan perilaku yang lebih baik setelah kita menjalani puasa. Alias puasa terus-maksiyat jalan. Namun apakah kita tak beringinan untuk naik kelas sebagai hamba Tuhan? Tentu dengan cara berpuasa yang lebih serius? Dan lebih dari sekadar persoalan lapar dan haus saja.” Tanya temanku.  

 “Puasa seharusnya menjadikan manusia yang lebih baik, sisi keimanannya, ketaqwaannya hingga terlihat pada perubahan perilaku lebih baik dalam kehidupan sehari-hari. Nah itu menurutku disebut hamba Tuhan berlabel platinum”. Temanku mengakhirinya.

....Ya Allah, Tuhan kami. Terimalah dari kami shalat kami, puasa kami, shalat malam kami, kekhusyu'an kami, kerendahan hati kami, ibadah kami. Sempurnakanlah kelalaian atau kekurangan kami, Wahai Allah Wahai Allah Wahai Allah Wahai Dzat yang Paling Penyayang diantara para penyayang. Semoga rahmat Allah tercurahkan kepada sebaik-baiknya makhluk-Nya, Muhammad, keluarga dan sahabatnya semua, dan segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam.

Tuhan Maha Kreatif,  tak hanya melalui metode firman atau tausiyah saja dalam memberikan pencerahan pada hambanya. Untuk kesekian kalinya aku dibuatnya ter-kagum-kagum kepada Dzat Yang Maha Agung. Ya Allah... Engkau memang Maha Hebat.

Untuk temanku, seporsi siomay ikan dan semangkuk sop buah. Serius aku yang bayar.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun