Umbul-umbul telah dipasang, hiruk pikuk warga mulai mempersiapkan acara “sedekah desa”. Sedekah Desa atau yang biasa dikenal sebagai Bersih Desa merupakan wujud rasa syukur warga yang sebagian besar berpencaharian sebagai petani setelah “panen raya “padi . Dalam acara tersebut diadakan pagelaran Kethoprak (di desa tempat saya tinggal, di beberapa desa lain menyesuaikan)
Konon kabarnya salah satu atau beberapa pemain pada hari yang telah ditentukan sebelum pentas mengadakan ritual “joget” (menari) di punden.Punden ini dipercayai warga sebagai cikal bakal desa. Dengan sesaji makanan kecil khas Rembang “dumbek” , bentuknya yang khas yang terbuat dari daun pohon siwalan, terbuat dari tepung beras.
Di sinilah, kita harus berhati-hati jangan sampai niatan baik kita akan menjadi perbuatan yang mendekati “syirik”. Apalagi jika kita mempercayai jika tidak dilaksanakan akan mendapat celaka dan sebagainya.
Kemeriahan itu melebihi hari raya, ibu-ibu memasak lebih mewah dari biasanya dan lebih banyak. Biasanya mereka “ater-ater” ke sanak family.
Saya, lebih melihat sedekah desa ini sebagai tradisi yang melibatkan kita semua, bukan hanya petani. Kita yang guyup rukun memberikan hiburan setelah panen dan selepas melakukan aktivitas rutin. Biaya mendatangkan kethoprak jkita pikul bareng-bareng. Dan, sebuah perhelatan digelar, pedagang-pedagang mulai menjajakan dagangannya, anak-anak sibuk mencari mainannya.
Sembari memasang perlengkapan dan atributnya, kemeriahan begitu tampak, acara sudah mulai digelar pada siang hari, malamnya merupakan acara puncak Tasyakuran, terkadang sebelum acara dimulai anak-anak pentas menampilkan performance mereka masing-masing, ada yang menari, menyanyi, ngedance modern, dll.
Di rumah-rumah penduduk ramai, acara ini merupakan temu kangen dan kumpul-kumpul bareng keluarga dan teman.
Dibuka oleh Kepala Desa dan dimulailah acara bersih desa tersebut dengan Kethoprak semalam suntuk.
Keunikan acara sedekah desa ini benar-benar menarik, sehingga saya menyebutnya sebagai sebuah fenomena. Acara persembahan Kethoprak adalah acara di kampung saya, acara di desa lain bisa berbeda, ada yang wayang orang, ada yang balap kuda, ada yang campur sari, dsb.
Aura magic dalam hal ini kadang muncul, kadang ketika si “danyang” tidak suka campur sari, maka music itu tidak bisa mengeluarkan bunyi, gitar dipetik tak bersuara, listrik tiba-tiba mati atau jika ia tak suka wayang misalnya “gong” nya ditabuh tak bisa berbunyi.
Entahlah……, yang pasti kita jangan mendekatkan diri kita pada perbuatan syirik, yang mempercayai kekuatan lain selain Tuhan (Allah).
Kita angkat saja tradisi ini sebagai kekuatan potensi daerah yang bisa “dijual” untuk mempromosikan daerah kita, sebagai salah satu andalan wisata. “Acara unik” seperti Karapan Sapi di Madura, bisa kita lestarikan sebagai budaya yang mengangkat daerah kita dan dapat menambah income plus….menambah PAD tentunya.
Makanan/Kuliner khasnya juga bisa kita tonjolkan dalam acara ini. “Dumbek” khas Rembang misalnya kita jadikan trade merk yang wajib ada di acara yang kita tawarkan ke calon wisatawan yang dating. Termasuk sajian makanan besarnya berupa Lontong Tuyuhan, Nasi Mrico “pedasnya”, bisa kita jadikan dalam satu paket acara “SEDEKAH DESA”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H