Oleh: Yahya Ado*
Pegiat SemestaÂ
Di sebuah kampung kecil hidup seorang ibu muda  bersama seorang anak perempuan yang ia cintai. Ayahnya telah meninggal saat sang anak masih berumur dua bulan. Kini gadis kecil itu telah berusia empat tahun. Malangnya, sikap sang anak tergolong aneh, sehingga ibunya harus memberikan perhatian ekstra kepada putri kesayangannya. Hal ini yang mengganggu sang ibu untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang guru di sebuah sekolah dasar negeri di kota itu.
Di tengah kepanikan sang ibu, datang sebuah tawaran mengejutkan untuk menjadi kepala sekolah di  sebuah perkampungan. Tentu ini sebuah peluang sekaligus tantangan bagi sang ibu.
Â
Mendapat kesempatan tersebut, ibu muda ini bukanlah senang sebagaimana lumrahnya orang yang hendak mendapat jabatan baru, tetapi sang ibu malah bimbang. Pikirannya terbagi, antara si anak dan tanggung jawab sebagai guru yang profesional. Hingga suatu hari ia memutuskan untuk menolak pengangkatan menjadi kepala sekolah tersebut, walau dalam hatinya menyesal karena tidak memenuhi tawaran ini.
Â
Ternyata bukan hanya orang yang tak punya kerja saja bisa menderita, tapi orang yang berpeluang mendapat jabatan pun, bisa saja tak bahagia. Hati si ibu muda ini sedih berkepanjangan. Pikirannya menewarang jauh penuh pergulatan, "Sebagai orang tua tunggal, saya telah berjuang mendidik si anak. Saya pun telah berhasil mencapai cita-cita jadi guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), tapi mengapa sekarang saya tidak berdaya untuk mengambil peluang yang jelas-jelas sudah di depan mata?" desah sang ibu.
Â
Dalam kegundahannya, ia mendatangi seorang bapak tua di desa itu. Ia menceritakan kehidupan pribadinya dan juga tawaran yang baru saja ia terima, "Pak, tolonglah saya untuk menghilangkan kesedihan yang sedang saya alami ini. Saya sangat menderita karenanya." Lalu sang ibu menceritakan apa yang sedang dialaminya.
Â
Dengan seksama pak tua mendengarkan cerita sang ibu. Lalu pak tua menasihati. "Apa yang kamu alami masih belum apa-apa dibanding apa yang sedang dirasakan oleh kebanyakan orang di kota ini bahkan seluruh duia" terang pak tua.
Â
Â
Ketahuilah, bahwa di desa ini banyak sekali orang yang tengah memiliki masalah. Ada suami-istri yang bersedih, karena hingga saat ini belum dikaruniai keturunan. Ada orang tua yang berkecil hati karena anak-anaknya yang sarjana belum berhasil mendapatkan pekerjaan. Ada seorang gadis muda yang mengeluh karena belum menemukan pasangan hati. Ada seorang pegawai yang baru saja ditinggal suaminya tercinta karena kecelakaan di jalan raya, dan berbagai kisah pilu lainnya yang ada di sini.
Â
Sambil menunduk kaku, sang ibu tersadarkan dengan cerita yang baru saja disampaikan oleh pak tua. Lalu dalam hatinya sang ibu mulai yakin, ternyata hidup adalah penderitaan. Seperti kata sang Budha Gautama,
Â
"Hidup adalah suatu perjalanan yang selalu penuh dengan masalah dan cobaan."
Â
Sang ibu semakin sadar lalu kembali ke rumah dan merenung, bahwa ternyata sepanjang hidup manusia, masalah dan kesulitan akan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Â
Pada waktu tertentu, hidup kita mungkin diberkahi dengan segala keberutungan, pujian dan kegembiraan. Tapi di lain hari, kita juga akan bernaung dalam situasi yang tak menguntungkan seperti kegagalan, kesedihan, penyakit dan rasa sakit hati.
Â
Maka itu, siapa yang berani menerima kehidupan, ia pun harus siap menghadapi ragam cobaan dan derita. Manusia tidak akan lepas dari masalah. Dan, setiap masalah tergantung bagaimana menghadapinya. Sehingga pilihan terbaik dalam hidup adalah hadapi dan cari jalan terbaik, meski menjadi kepala sekolah kini tinggal mimpi.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H