Semusim sudah berlalu. Satu semester kelas sangat sunyi. Kini masuk semester genap. Sekolah seperti museum yang hanya menyimpan perangkat belajar. Lonceng sekolah tak lagi ramai berbunyi. Sunyi di kala pagi, maupun jam ketika pulang. Taka ada lagi baris-berbaris. Tak ada lagi nyanyian Indonesia Raya di Senin pagi. Semua bejalar dari rumah akibat pandemi Covid-19.
Simbolisasi sekolah seperti baju seragam, apel pagi, doa bersama dan lainnya seperti menjadi kenangan cukup lama. Sekolah kini masuk ke jaringan global, melalui dunia digital, meski masih banyak pula yang terperangkap manual.
Orangtua menjadi guru, dan guru-guru menjadi orangtua di rumah masing-masing. Susahnya kalau siswa yang orangtuanya harus kerja ke kantor atau berkebun, atau pekerjaan lainnya di luar rumah. Kasat mata terlihat, banyak anak dibiarkan bermain bebas di rumah dan lingkungan rumah mereka di jam-jam sekolah.
Kurikulum secara nasional kini mulai disederhanakan untuk masa darurat. Menyesuaikan kenormalamn baru yang 'dituntut' menjadi normal. Mengurangi mata pelajaran, memangkas jam belajar, hingga menghilangkan banyak perangkat administrasi belajar yang menyita. Kurikulum darurat yang menjawab mimpi merdeka belajar itu, kini diterima sebagai kabar baik. Termasuk penilaian karekter yang menggantikan ujian nasional yang berbiaya mahal itu.
Pendidikan berbasis digital di zaman ini memang sungguh melelahkan. Tantangan sangat berat adalah infrasturktur listrik dan juga blank spot untuk jaringan internet. Belum lagi kepemilikan gawai yang tak mendukung proses belajar siswa.
Selain itu, satu sekolah dan sekolah lain punya metode belajar yang berbeda-beda. Ada yang sekedar membagi buku. Ada yang hanya foto copy lembar kerja, dan syukur-syukur masih ada yang bisa bertemu dan berkunjung ke rumah-rumah, terutama di zona hijau dan orange.
Di pandemi ini, protokol menjaga jarak fisik pun ternyata menjauhkan hubungan emosional antar guru dan murid. Padahal belajar juga butuh interaksi hati ke hati. Butuh motivasi dan inspirasi yang mengalir saat bersua.
Jadinya, ikatan batin seorang guru yang ditiru dan digugu semakin terhambat kondisi. Anak jarang ketemu langsung dengan guru secara fisik, Guru berhubungan dengan perangkat lunak, begitu juga murid dan orangtua mereka. Sama-sama lebih dekat dengan dunia digital masing-masing.
Orangtua menjadi guruÂ
Pesan Ki Hajar Dewantara, setiap orang menjadi guru setiap rumah menjadi sekolah, menjadi benar-benar terjadi hari ini. Pandemik kembalikan filosofi sekolah yang sebenarnya. Tanggungjawab utama belajar anak di rumah karena waktu yang lebih banyak di rumah.
Setiap rumah menjadi sekolah, setiap orangtua itu guru. Sayangnya, kita masih terpingkal-pingkal dan bahkan saling menyalahkan. Kita belum tuntas diskusi, bahwa belajar bukan semata tanggungjawab sekolah.