Mohon tunggu...
Yahya Ado
Yahya Ado Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Praktisi Pendidikan

Lahir di Adonara Flores - NTT. Senang belajar pada Universitas Kehidupan.. Bertemu dengannya di: www.mysury.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pustaka El Tari dan Nyanyian Flobamora

31 Desember 2018   07:44 Diperbarui: 31 Desember 2018   08:16 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok Kincir Angin menyanyikan lagu Flobamora. Foto oleh Alberto Manuela. dokpri


Oleh: Yahya Ado*

Penulis Buku 'Wasiat Jalan: Menemukan Makna Hidup, Karya, & Cinta'

DI satu petang yang cerah kala itu. Tepat di hari Jum'at, tanggal 21 September 2018, ketika mentari mulai condong ke barat, sejumlah perwakilan orang tua dan anak muda dari berbagai daerah dan latar belakang agama, suku dan profesi bergegas memadati kursi-kursi di arena diskusi di kantor Institute Resource Governance and Social Change (IRGSC) di bilangan Walikota, Kota Kupang, NTT. Pukul 17.00 wita adalah pembuka acara peresmian dan diskusi Pustaka El Tari hari itu.

Di tengah hadirin, sekelompok anak muda yang tergabung dalam anggota 'Kincir Angin' menyanyikan lagu populer Flobamora sebagai pembuka. "Flobamora, tanah air ku yang tercinta. Tempat beta dilahirkan, dibesarkan ibunda..." Begitu penggalan lagu yang sungguh popular itu. Diiringi gitar dan sebuah gendang sederhana, suara mereka terasa menusuk sampai di sum-sum hati. Rasa Flobamora yang membangkitkan semangat.

Diskusi yang diinisiasi oleh anak-anak muda secara sukarela di kantor itu, untuk mau merawat dan belajar tentang visi, kehidupan, kepemimpinan, ajaran cinta kasih antar sesama, dan teladan sang mantan gubernur NTT yang sangat legendaris itu. Diskusi dengan memuat tema, "Meneroka Kembali Tipe Kepemimpinan EL Tari" menghadirkan beberapa pembicara mewakili keluarga dan orang-orang dekat El Tari. 

Ada Frans X. Skera, Umbu Pakudjawang, Johanes Pake Pani, Cornelis Tapatan, dan Abdul Kadir Makarim. Diskusi dipandu oleh, Dominggus Elcid Li, Direktur IRGSC berjalan penuh kenangan. Diskusi hari itu semacam nostalgia kepemimpinan sang mantan gubernur NTT kedua yang memimpin sejak tahun 1966 sampai 1978 yang belum banyak anak muda NTT tahu, apalagi meneladaninya.

Lebih dari 1.140 buku koleksi El Tari dalam berbagai bahasa berjejer rapi di ruangan kecil di kantor lembaga yang berpusat pada penelitian itu dengan diberi nama "Pustaka El Tari". Ini sebagai bukti sekaligus mempertegas bahwa seorang El Tari adalah sosok pemimpin yang gemar membaca. Dan warisan inilah harusnya menjadi dorongan terkuat bagi para generasi NTT untuk rajin membaca, dan menulis.

Pesan-pesan Fenomenal El Tari 

Eltari adalah seorang sosok pemimpin yang mati tak meninggalkan harta. Eltari dalam kehidupan dan kepemimpinannya meninggalkan nilai-nilai kehidupan yang universal. Di saat ia meninggal, lautan manusia memadati pemakamannya kala itu. El Tari yang lahir di Pulau Timor pada 18 April 1926 dan meninggal pada 29 April 1978, adalah sosok pemimpin inspirasi NTT dalam memberikan pesan-pesan kehidupan yang teramat luas.

Salah satu pesan El Tari, saat Ia melihat kondisi NTT yang kering, maka salah satu programnya dan bahkan menjadi slogan yang sangat fenomenal adalah, " Tanam. Tanam. Dan Tanam. Sekali Lagi Tanam." Maka di 12 kabupaten di NTT kala itu, El Tari melakukan pengadaan air. Saat itu dibangunlah bendungan dan irigasi di 12 kabupaten untuk program pertanian, sekaligus peningkatan ekonomi rakyat.

Bahkan soal harga diri, El Tari pernah berpesan kepada Ben Mboy, "Kita boleh miskin harta, tetapi harga diri tidak boleh tercoreng," Tentu ini memberi tanda dan pesan kuat kepada kita bahwa, NTT ini harus hidup dalam kejujuran. Apapun keadaan kita, kita tak boleh mengemis keringat orang secara gratis. Apalagi mencuri uang rakyat. Kita harus berusaha dengan darah dan keringat kita sendiri untuk menghidupi anak cucu kita kelak.


Frans X. Skera menyampaikan beberapa testimoni tentang El Tari di sesi diskusi. Foto oleh Alberto Manuela .dokpri
Frans X. Skera menyampaikan beberapa testimoni tentang El Tari di sesi diskusi. Foto oleh Alberto Manuela .dokpri
Ciri-ciri Kepemimpinan El Tari 

Frans X. Skera, mantan ajudan El Tari masa itu, mengungkapkan sembilan ciri pribadi dan kepemimpinan El Tari yang ia petik selama bersama El Tari. Kekuatan kepemimpinan itu yang kemudian ia tulis dalam sebuah buku berjudul "Ciri Khas dan Warisan Pemimpin Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur, dari El Tari ke Lebu Raya",

Dari sembilan ciri kepemimpinan El Tari itu, tulisan ini akan mengulas tiga diantaranya yang bagi penulis sangat penting untuk menjadi teladan bagi para pemimpin hari ini, bahkan bagi siapa pun yang ingin menjadi pemimpin berikutnya di NTT.

Pertama, El Tari adalah pemimpin yang memiliki daya tarik karena ia adalah sosok pemimpin yang berwibawa. Ia berwibawa bukan karena pangkat dan jabatan, tetapi karena ia memang memiliki kelebihan itu. Ia adalah pemimpin, apa yang ia katakan sama dengan apa yang ia lakukan. Bukan sekedar basa-basi dan gretak. Ia pemimpin yang komitmen dan konsisten dalam berbagai kebijakan yang ia rasa baik dan benar untuk NTT.

Kedua, El Tari adalah pemimpin yang sangat disiplin. Ia tegas dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Namun demikian, ia sangat menghargai stafnya. Ia menganggap staf bukan bawahan, tetapi mitra kerjanya. Pembawaan El Tari itu benar-benar menjadi teladan. Dia adalah gubernur, sekaligus orang tua bagi stafnya. Ia adalah pemimpin yang menginspirasi. Menggerakan staf dengan teladan. Sekarang kita bicara Revolusi Mental, dan itu sudah lama dilakukan El Tari.

Ketiga, El Tari adalah pemimpin yang sederhana, jujur dan rendah hati. Ia pemimpin yang mengayomi rakyat kecil. Karena kecintaan kepada rakyat kecil dan daerahnya, dia benar-benar belajar mengetahui peta permasalahan di daerah ini. Bahkan ia sangat peduli dan gemar memberi.

Frans menceritakan sebuah ceritera kecil yang ia alami. "Suatu ketika kami pulang dari Timor-Timur (Tim-Tim), sekarang menjadi negara Timor Leste, Pak El Tari menerima honor dalam sebuah amplop tertutup. Ia lalu memanggil saya, memberi amplop utuh itu kepada saya untuk diserahkan kepada salah satu pantai asuhan. 

Saya terkejut karena beliau sendiri tidak membuka dan mengetahui berapa isi uang itu. Tetapi ia langsung menyerahkan kepada saya untuk saya antar ke pantai asuhan itu. Bagi saya ini sebuah kecerdasan hati nurani, kepeduliaan, dan cinta kasih yang sangat tinggi kepada rakyat kecil, " demikian tutur Frans.


Foto bersama di depan Pustaka El Tari di kantor IRGSC Kupang. Foto oleh Alberto Manuela. dokpri
Foto bersama di depan Pustaka El Tari di kantor IRGSC Kupang. Foto oleh Alberto Manuela. dokpri
Pustaka El Tari dan Nyanyian Flobamora, seperti dua sejoli yang sedang bercinta petang itu. Akronim Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Rote, Alor, dan Lembata) yang ia cetuskan sebagai pemersatu wilayah-wilayah di NTT adalah sebuah metafora yang hidup selama-lamanya, dan tak terbantahkan. Ini tidak mudah diciptakan para pemimpin lain. 

Lagu Flobamora, bahkan menjadi sangat fenomenal sebagai nyanyian rindu cinta tanah kelahiran NTT. Ia benar-benar sosok pemimpin yang dirindukan sejak lama. "Hanya pemimpin dengan kecerdasan tertentu saja yang bisa melahirkan slogan-slogan dan kerja-kerja hebat," demikian tutup Elcid Li, sekaligus menutup diskusi hingga malam hari itu.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun