Mohon tunggu...
Yahya Ado
Yahya Ado Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Praktisi Pendidikan

Lahir di Adonara Flores - NTT. Senang belajar pada Universitas Kehidupan.. Bertemu dengannya di: www.mysury.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nyayian Rindu Ayah dan Ibu

10 Desember 2018   12:09 Diperbarui: 10 Desember 2018   12:31 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto berlatar alam dari Facebook Kris da Somerpes

DI setumpuk tanah, tempat diam keluarga kita, kaum kerabat kita, handai taulan kita. Di sana kita dilahirkan, dibuai, dibesarkan, ibunda. Jerih letih tak terperih dalam keringat dan air mata ayah untuk kita. Darah mereka mengalir dalam tubuh kita, tak pernah kita kompromi. Titik demi titik air susuh ibu kita hisap tanpa sedikit pun kita bayar. Semua cuma-cuma seperti udara yang terhirup secara gratis. Betapa mereka bangga peluh itu jadinya kita hari ini. Ibu menunggu kita, hingga di pintu hati mereka yang terdalam.  Perempuan istimewa di dekapan ayah kita tercinta.  

Dari ranting mereka patahkan jadi makanan untuk tubuh kita, agar kita tak menangis kelaparan. Air disaduk jadi minuman penghangat badan saat dingin mengguyur hati, saat panas menyengat tubuh. Kita hidup dari jemari mereka yang tak pernah lagi mereka hitung berapa jumlahnya. Air mata mereka jatuh saat ranting habis terpatah, air terakhir telah kering. Bahkan kita tak pernah lihat kapan mereka menangis untuk kita terakhir kalinya. Ibu memang perempuan paling lembut hatinya ketika mencintai kita. Sedang ayah lelaki paling keras jiwanya saat membela keberadaan kita.

Ketika masih dalam gendongan, ibu bernyanyi dengan suara paling halus. Dengan pantun-pantun kerinduan, mengharap kita lekas besar. Tempat harapan dan tumpuan bergantung. Buah pantun nyanyian rindu itu ia ambil dari keindahan alam di sekitarnya. Suaranya bersatu memecah alam. Nyiur melambai, pohon-pohon menari mengikuti irama nyanyian ibu. 

Bunga-bunga kini mekar. Tumbuh semerbak di pekarangan. Kumbang-kumbang menyeri, lebah menghisap, kupu-kupu berterbangan, singgap dan terbang lagi, silih berganti. Di lahan ini, dulu tumbuh harapan dan mimpi itu terjalin. Tumbuh cita-cita yang mereka selip di bibir hati kita. Hingga gunung dan karang mereka daki. Hutan dan lautan mereka selami. Hanya untuk merindang dedang di hari depan kita. Dan kita hari ini, apa adanya.

Jadi apa kita hari ini? Susahnya belum kita ganti dengan senang. Tangisnya belum kita tukar dengan gembira, Tapi kita kerap lupa menghitung keriput di wajah mereka yang menua. Kita tak lagi tahu berapa tangkai padi yang mulai menguning. Berapa tongkol jagung yang mulai mengering. Yang kita tahu hanya menyambung hidup kita hari ini. Mendapat satu rupiah ke rupiah yang kita terima harian, bulanan, bahkan tahunan. Kita di mata mereka tak ada beda sejak kecil hingga sekarang. Tetapi kita kerap membeda-bedakan, bahkan air susu dibalas dengan air tuba.  

Kita pun kini terlanjur berubah. Usia tak lagi muda. Suka, duka, susah senang silih berganti menghiasi hidup jejak hidup kita. Untung Tuhan tetap milik kita semua, miskin atau kaya. Walau bakti kita masih kurang buat mereka, ayah dan ibu. Di sudut gubuk tua tempat darah kita tumpah dulu. Mereka ingat saat kita bercengkrama dengan kakak dan adik kita. Begitu akrab, dekat, bersaudara. Tak ada yang bisa membelah darah. Sekamar, semeja makan, setumpukan pakaian kotor kita main bersama. Ayah dan ibu tak menanti bakti kita. Mereka rindu masa itu terkenang. Air mata mereka jatuh bukan karena satu duka ke duka berikut. Tetapi terkadang mereka hanya ingat, sedang apa anakku di sana?  Mereka mengangis. Oh, sungguh. Pernahkah menelpon, merayu, atau sekedar basa basi tanya makan siang dengan apa hari ini? 

Foto berlatar alam dari Facebook Kris da Somerpes
Foto berlatar alam dari Facebook Kris da Somerpes
Cukuplah tak mencoreng nama baik mereka. Biarkan mereka tinggal dengan tenang. Dengan gunda tawa yang mereka rindukan seperti dulu. Tak perlu sedu sedan karena kita dibatasi jarak. Tak perlu menangis kalau rasa dalam kebersamaan disekat waktu. Hari terus berganti hanti. Kita harus bisa membahagiakan mereka. Bahagia serupa cantik wajah ibu saat rahimnya tersenyum mengendong kita. Bahagia seperti tampan muka ayah saat mendekap kita dalam tidur panjang yang tenang. Dengan apa? Dengan sekedar bercanda seperti masa kecil dulu. Itulah nyanyian rindu, yang benar-benar mereka rindukan. 

Bagimu yang tak lagi punya salah satu atau keduanya, jalan-jalanlah ke pusara mereka. Dan doakan!!

Desa Mata Air, 10 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun