Mohon tunggu...
Yahya Ado
Yahya Ado Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Praktisi Pendidikan

Lahir di Adonara Flores - NTT. Senang belajar pada Universitas Kehidupan.. Bertemu dengannya di: www.mysury.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjemput Mimpi Perempuan Kecil

5 Juni 2010   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:44 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EMBUN pagi masih menetas dari jutaan lembar daun. Udara begitu segar terhirup sepanjang jalan  menuju desa Waienga, Lembata, NTT (Nusa Tenggara Timur). Matahari pun terlihat angkuh menyorotkan sinar kuning keemasan di kaki gunung Ile Ape. Hari itu 10 November 2009, Ina (ibu) Tresia Buka, 42 tahun dengan jemari yang lincah di balik dapur sedang menyiapkan sarapan pagi buat dua anak perempuannya yang hendak ke sekolah pagi itu. Asap putih dari balik terlihat terbang disela dinding bambu yang sudah menghitam.

Karol (20), Geni (15) dan Santi (12), adalah tiga bersaudara yang paling bahagia memiliki Ina, begitu panggilan akrab ibu  Tresia. Ina berperan sebagai kepala keluarga sejak sang suami tercinta meninggal Oktober 2007 silam di negeri jiran Malaysia, ketika menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) illegal.

Perasaan duka tidak membuat Ina dan anak-anaknya berlarut dalam kehampaan. Tapi dengan gigih Ina mengobarkan semangat membara, berupaya sekuat jiwa dan tenaga untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

Sebuah rumah sederhana berdinding setengah tembok, beratap  seng adalah tempat berteduh kala hujan mengguyur dan teriknya panas. Ketika senggang mereka bercerita di atas bale (tempat tidur) yang terbaring di lantai tanah. Tanpa pernah melirik layar televisi atau memutar gelombang radio. Ada suka dan juga duka kerap menghiasi perjalanan hidup keluarga kecil ini.

Karol anak pertama kini tinggal bersama istri di rumah lain sejak menikah setahun lalu. Sedang Gina masih duduk di kelas II (dua) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Santi di kelas VI (enam) Sekolah Dasar (SD).

Keseharian Ina  yang berdarah Lamaholot-Adonara bekerja sebagai penjual lokal di pasar tradisional. Menawarkan  ikan kering, tembakau, kewatak (sarung khas daerah) hasil kerja tangan sendiri, serta aneka makanan lokal. Modal yang sederhana, tapi Ina mengaku penghasilan bersih bisa mencapai tiga ratus ribu  hingga lima ratus ribu rupiah  per bulan.

Dari pendapatan tersebut 30 (tiga puluh)  persen  ditabung untuk kebutuhan pendidikan dua anak perempuannya, dan sisa untuk penambahan modal serta biaya hidup sehari-hari.

Disamping menjajaki perjalanan dari pasar ke pasar, Ina masih melakukan kegiatan berternak babi dan ayam kampung. Sembari berkebun menanam jagung dan ubi untuk dijual dan dimakan dalam keluarga. Hasil dari berternak dan berkebun hanya dapat dihitung dalam satu musim panen.

Tatkala perempuan terdiskriminasi oleh berbagai pandangan dan budaya lokal, seperti anak perempuan yang tidak menjadi prioritas dalam pendidikan, Ina justru memiliki komitmen untuk mendukung kedua anak perempuannya  agar dapat melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.

Ina punya harapan yang berbeda dari kebanyakan orang di desa ini. Membesarkan kedua anak perempuannya dengan cinta dan cita-cita yang luhur. Serta memberi mereka kesempatan mendapatkan pendidikan formal yang baik. Dengan harapan bahwa kedua anaknya tersebut kelak akan menjadi manusia mandiri dan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.

"Mereka harus sukses dan lebih bahagia dari saya". Begitu kata Ina, ketika mengungkapkan harapan terhadap kedua anaknya. Seraya mengakhiri ombrolan kami hari itu.

Waktu terus bergerak maju.  Senja pun kian beranjak ke peraduan sore.  Sepertinya mengajak Ina untuk melangkah lebih jauh menggapai segala harap dan asa.

Di pundaknya tersandar cita-cita Gina yang ingin menjadi guru dan Santi yang berharap menjadi perawat. Dalam impian itulah semangat Ina tersimpan, dan menjadi energi yang menyala dalam menjalani kehidupannya yang walau berat tapi terasa ringan.    Hidup dan kerja bagaikan menjemput mimpi kedua perempuan kecilnya.**

Oleh, Yahya Ado

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun