Sabtu, 11 Agustus 2018 di sore yang cerah, aku meluncur ke sebuah food court Jogja Paradise yang terletak di Jalan Magelang km 6 tepatnya depan (seberang) The Rich Hotel Jogjakarta.Â
Ada satu stand kuliner yang hendak kutuju namanya adalah Sate Ratu. Yes, aku memang ada janji dengan beberapa teman dari Kompasianer Jogja untuk dolan kuliner disana. Stand di Food Court itu banyak, maka dari pada bingung mencari, begitu masuk area Jogja Paradise, aku langsung tanya aja ke Pak satpam. Ternyata Sate Ratu berada didalam dan paling ujung. Terlihat  beberapa teman sudah sampai lebih dulu.
Berawal dari keinginannya untuk hjirah dari yang semula bekerja dibidang entertainment selama belasan tahun, kemudian beliau ingin membuka usaha sendiri di bidang kuliner. Dia merealisasikan dengan membuka sebuah angkringan di Jalan Solo Jogja yang lokasinya tidak jauh dari Galleria Mall.Â
Angkringan, pada umumya identik dengan makanan yang merakyat dengan kualitas sederhana. Tetapi di tempat Pak Budi dikonsep dengan kualitas premium, dengan cara tidak menerima makanan titipan. Semua dagangannya adalah produksi sendiri. Angkringan Ratu, adalah nama brand yang menjadi pilihannya.
Hingga pada 16 Maret 2016, Pak Budi mengubah konsep dari angkringan menjadi Sate Ratu, agar lebih fokus pada menu unggulan yaitu sate. Dan kata Ratu tetap menjadi brandnya karena menurut Pak Budi mengandung makna Jawa, tradisional dan memiliki kasta yang tinggi.
Yang bisa saya petik dari kisah ini adalah bahwa keluar dari zona nyaman suatu pekerjaan dan memulai membuka usaha sendiri perlu keberanian dan kemantapan. Menjadi pegawai atau berwirausaha adalah sebuah pilihan. Saya jadi ingat, ketika beberapa waktu lalu mengikuti kajian tentang hijrah bersama ustazah Oki Setiana Dewi. Bahwa setiap hijrah itu selalu melewati masa ujian. Karena Tuhan ingin menguji seberapa besar kesungguhan dan kesabaran. Jika mampu melampauinya, hijrahpun akan sukses.
Akhirnya cerita Pak Budi harus terpotong, karena menu unggulan dari Sate Ratu, Â sudah datang di meja kami. Ada sate ayam merah dan lilit basah.
Sate Ayam Merah
Di sate ayam merah ini bumbunya sangat merasuk  karena sebelum proses pembakaran, daging telah direndam bumbu selama tiga jam. Dinamakan sate merah karena lombok merahnya menjadi pewarna alami, ketika matang satenya berwarna kemerahan. Setiap gigitan memiliki rasa. Daging yang digunakan adalah paha ayam, maka serat dan teksturnya lebih lembut.Â
Dari segi rasa,memang paha lebih gurih dibanding dada. Dan saya yakin, daging yang digunakan juga fresh. Ketika saya membelah sate dengan sendok, terlihat segar,  aroma tidak terlalu amis, ataupun apek.
Dalam satu porsinya terdapat enam tusuk. Begitu disajikan, udah siap santap deh. Tidak ada tambahan bumbu lainnya, seperti kecap dan sebagainya. Jika kamu kesini, jangan minta lontong ya, karena disini dihidangkan dengan nasi.
Pembakaran dengan ukuran panas sedang dan tehnik bakar yang tepat membuat daging ayam matang merata, tidak gosong, kering maupun alot dan yang pasti empuk. Potongan ayamnya tergolong besar, jika dibandingkan dengan sate lain yang pernah saya temui.
Rasanya emang bikin nagih sih, seiring inginku datang lagi kesana.
Dikemas dengan botol berisi 300 gr, untuk saat ini masih di jual kisaran Rp.40.000,- Â Bumbu ini tanpa bahan pengawet, tetapi bisa bertahan tujuh hari di suhu ruang, dan bisa lebih lama jika disimpan di lemari pendingin. Ramuannya sama persis dengan yang digunakan di kedai Sate Ratu. Jadi, jika dibuat dengan cara dan takaran yang sama, hasilnya akan sama seperti kalau kita beli sate di Sate Ratu.Â
Jika masih ragu, pembeli bisa tanya-tanya langsung ke Pak Budi, dengan senang hati beliau akan memberitahu dengan detail. Berinteraksi langsung dengan pembeli sudah menjadi komitmennya, demi menjalin kedekatan dengan pelanggan. Ketika disinggung tentang franchise dan buka cabang, Pak Budi mengatakan saat ini masih idealis, lebih baik memperluas kedainya yang sekarang.
Jadi, sudah terlintaskah buat bakar sate sendiri dengan bumbu dari Sate Ratu ini?
Lilit Basah
Sebelumnya, yang pernah saya nikmati adalah sate lilit. Sepertinya ini sudah umum dan banyak yang pernah merasakannya. Tusuk pada sate lilit adalah batang serai. Dagingnya adalah daging giling. Ada yang mau mbayangin cara menusuknya? Haha... atau cukup rasanya aja?
Nah, di Sate Ratu dulu juga ada menu sate lilit.  Dalam perjalanannya sate lilit diganti dengan lilit basah. Mengapa? Yang jelas, karena proses penyajian lilit basah lebih cepat. Ini bisa menjadi alternatif bagi pengunjung yang tidak memiliki waktu yang banyak untuk menunggu proses  membakar seperti sate merah. Cocok juga bagi pembeli yang keburu lapar, atau intinya tidak mau menunggu.Â
Jangan-jangan kamu juga pengalaman, pesan makanan sambil nulis di nota "GPL" alias gak pake lama. Hehe... Lilit basah ini, sudah dipersiapkan, dan tidak melalui proses pembakaran dan tidak memakai tusuk seperti sate. Lilit basah terbuat dari daging giling yang sudah diberi bumbu gurih pedas. Dan rasanya mantappp...
Sesuai dengan namanya, lilit basah memang basah, mudah dicerna. Disajikan dengan irisan timun, 4 potong lilit basah dalam satu porsi cukup mengenyangkan bagi saya.
Selain dua menu diatas, sebenarnya masih ada menu bernama ceker tugel. Tetapi saya belum sempat mencicipinya. Lagi pula sate merah dan lilit basah sudah memenuhi perut saya.
O ya, dalam menjalankan usaha ini Pak Budi dibantu sang istri yaitu Bu Maria. Mereka begitu kompak dan sangat ramah. Meskipun juga memiliki karyawan, tetapi mereka senang berinteraksi langsung dengan pembeli. Soal pelayanan, tidak diragukan lagi.
Ternyata dari teman. Marketing konvensional memang sangat terpercaya. Cerita dari mulut ke mulut sudah terbukti khasiatnya. Ketika saya datang kesana sudah tertulis lebih dari 2300 turis yang telah datang dari 60 negara.
Sayangnya, saya tidak turut menulis review di dinding Sate Ratu, padahal bagus juga jika setiap pengunjung yang datang bersama komunitas, juga menulisnya.  Semoga lain waktu Kjog  dipersilakan menorehkan tinta disana.Â
Ketika saya datang, kebetulan tidak ada turis, padahal saya ingin melihat bule makan pedas dan keenakan. Jadi ingat teman saya yang seorang bule tapi suka makan pedas, berkali bilang "Fire in my mouth" tapi makan jalan terus. Haha... Sayangnya saat dia datang ke Jogja, saya belum mengenal Sate Ratu.
Certificate of Excellence 2018 dari Trip Advisor. Pada tahun 2017 juga mendapatkan penghargaan yang sama.
Penghargaan dari Indonesia Achieviement Foundation yang bertitel Indonesian Award for Excellence in Restaurant 2018
Menjadi finalis Kompetisi Bango Penerus Warisan Kuliner 2018
Salah satau dari 95 Food Startup Indonesia yang diselenggarakan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia.
Meskipun sudah memiliki banyak piagam sebagai bukti bahwa Sate Ratu memang berkualitas, namun harga menu tetap bersahabat. Ketika saya kesana harga per porsinya mulai Rp. 23.000,- Harga yang sangat terjangkau untuk kualitas yang premium.
Saya sempat bertanya kepada Pak Budi, adakah menu yang tidak pedas, yang bisa diberikan ketika datang mengajak anak kecil. Kata Pak Budi, kadang ada sop tetapi tidak ditulis didalam menu.
Tapi kalau saya boleh usul, kayaknya nasi goreng  bisa jadi menu tambahan lho Pak, karena nasi goreng bisa nikmati siapa saja dari anak-anak hingga orang tua.  Lho kok malah usul? Maafin kelancangan saya Pak...  heheee....
O,ya di area Jogja Paradise ini, juga tersedia mushola, toilet, dan yang pasti tempat parkirnya luas.
Masih ingin tahu tentang Sate Ratu, kepoin aja IGnya di @sateratu. Lalu, kapan kamu agendakan kesana? Jangan lupa ajak saya ya... hehe...
Salam
Yatmi Rejeki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H