Mohon tunggu...
Yatmi Rejeki
Yatmi Rejeki Mohon Tunggu... Administrasi - Suka becanda,, biar awet muda.

Wanita biasa dari Jogja

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pesona Nglanggeran, Laik Menjadi Salah Satu Desa Wisata Terbaik se-Asia Tenggara

29 Januari 2017   11:12 Diperbarui: 29 Januari 2017   11:18 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wisata alam seperti apa yang menarik bagi Anda? Apakah yang  bisa live in, camping, outbond, menikmati sunset dan sunrise, climbing dan rafling, bisa untuk tempat penelitian,  tracking, fliying fox, tempat makrab, jelajah alam,  wisata budaya dan ritual? Bagaimana jika semua itu bisa di dapat di satu tempat? Pasti  akan sangat menyenangkan , bukan? Semua itu bisa ditemukan di  Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Gunung ini pernah aktif 30-60 juta tahun yang lalu, berada di kawasan Baturagung di bagian utara kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara  200-700 mdpl memiliki  suhu udara rata-rata 23oC-27oC  dan terletak di  desa Nglanggeran kecamatan Patuk  kabupaten Gunungkidul  Yogyakarta.

 Pada hari Selasa 24 Januari 2017, saya bersama sahabat  Kompasianer Jogja, Blogger,  dan  Dinas Pariwisata Jogja berkesempatan mengunjungi  kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran Gunungkidul untuk mengeksplorasi geosite yang ada disana. Dengan menggunakan bus ,berangkat dari kantor Dinas Pariwisata Jogja yang terletak di jalan Malioboro  pada pukul  12.15 WIB  dan  hanya  membutuhkan waktu sekitar  satu  jam untuk sampai di Nglanggeran Gunungkidul.  Tepat pukul 13.15 WIB kami tiba dilokasi.  Setelah sholat dan istirahat sejenak kami disuguhi hidangan makan siang tradisional yaitu ayam ingkung, tahu tempe, sayur krecek, dan sayur  trancam. Semuanya lezat, rasa khas alami.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sedikit mengenal tentang desa wisata Nglanggeran, Bapak Budi Martono selaku GM Geopark dan Gunung Sewu, memaparkan bahwa geosite Nglanggeran adalah  salah satu dari 33 geosite di Jawa. 13 geosite terletak di Gunungkidul dan yang lainnya  di Wonogiri dan Pacitan. Geopark Gunung Sewu dikelola oleh masyarakat setempat yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata. Menurut keterangan dari Bapak Budi Martono, visi pembangunan DIY yang akan dicapai selama dua puluh tahun adalah DIY pada tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Desa Wisata Nglanggeran memperoleh Penghargaan CBT ASEAN di Singapore

Tepatnya  pada tanggal 20 Januari 2017 Asean Community Bases Tourism (CBT) Award  diberikan pada desa wisata Nglanggeran bersama dua  desa wisata lain di Indonesia yaitu desa wisata Dieng Kulon Banjar Negara dan desa wisata Panglipuran di  Bali. Yang menjadi penilaian adalah kepemilikian pengelolaan oleh masyarakat, memiliki  kontribusi terhadap kesejahteraan sosial, meningkatkan pelestarian lingkungan, mendorong partisipasi  interaktif  antara warga dan wisatawan. Acara kami selanjutnya adalah menuju  Kampung Pitu.

Kampung  Pitu , Kampung yang hanya boleh dihuni  tujuh  kepala keluarga (KK)

Rombongan kami diantar dengan angkutan lokal yang disediakan oleh warga setempat yaitu mobil bak terbuka/truk.  Berangkat  dari  Gunung Api Purba  sampai ke Kampung Pitu memerlukan waktu 30-40 menit.  Sepanjang perjalanan, mata kami dimanjakan oleh  pemandangan  hijau yang indah. Tidak ada kesan gersang di lokasi ini. Terkadang kami meminta kendaraan untuk berhenti sejenak, sekedar mengabadikan  gambar keindahan alam.   Untuk wisatawan domestik, biaya sewa mobil dari  kawasan  pintu masuk Gunung Api Purba ke Kampung Pitu adalah Rp. 250.000,00. Satu mobil bisa muat  tujuh orang.  Wisata kesini terasa  lebih asyik jika rombongan daripada sendiri.

Tiba di Kampung Pitu, kami disambut  hangat oleh keluarga Mbah Rejo dan Mbah Yatno, mereka adalah penduduk Kampung Pitu yang masih keturunan Eyang Iro Kromo.  Kemudian  Mbah Yatno mulai menceritakan tentang sejarah Kampung Pitu  ini.

Sebelum dinamakan Kampung Pitu, desa  ini bernama desa Tlogo. Tlogo artinya adalah  sumber air. Di desa ini terdapat sumber air yang tidak pernah kering. Sumber air itu digunakan penduduk setempat sebagai sumber kehidupan dan untuk mengairi sawah.  Jaman dahulu kala, tlogo ini untuk memandikan Kuda Sembrani. Kuda ini diyakini sangat sakti. Ketika kuda itu menginjakkan kaki di batu  besar di samping  tlogo  itu, maka jejak kakinya  akan membekas di batu.

Masih menurut cerita dari Pak Yatno,  bahwa ratusan tahun yang lalu ada abdi keraton yang meletakkan keris pusaka di pohon kinah gadung wulung, di Kampung Pitu ini. Abdi keraton ini berkata bahwa barang siapa yang bisa merawat keris pusaka itu akan diberi imbalan berupa tanah untuk anak dan keturunannya.  Dan kala itu Mbah Iro Kromo dan Mbah Tir yang berhasil merawat pusaka itu.  Maka sampai sekarang yang menghuni kampung itu adalah anak keturunan dari  Mbah Iro kromo dan mbah Tir. Dan kepercayaan di kampung ini, hanya boleh dihuni oleh tujuh  kepala keluarga  saja. Jika lebih, maka akan ada yang meninggal, atau dengan alasan tertentu  menjadi  tidak kerasan, dan akhirnya pergi meninggalkan kampung itu.  

Di Kampung Pitu juga masih terjaga tradisi rasulan yang dilakukan 2 kali setahun. Ada juga tradisi  tingalan atau ulang tahun dimana dalam acara syukuran tingalan ini bukan hanya ulang tahun manusia yang diperingati, tetapi juga syukuran kelahiran hewan ternak seperti sapi atau kerbau.  Tradisi yang lain adalah bersih makam.  Untuk kehidupan disana, sudah  sama dengan masyarakat pada umumnya.  Di kampung Pitu juga memiliki pantangan , Desa Nglanggeran dan sekitarnya  tidak boleh mengadakan pertunjukan wayang yang mengisahkan tentang Ongko Wijoyo. Pertunjukan wayang  juga tidak boleh membelakangi Gunung di Nglanggeran ini.

Perjalanan kami selanjutnya adalah menuju puncak wayang yang terletak  di Kampung Pitu.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Di Puncak Wayang ini kita bisa menikmati keindahan geosite Nglanggeran . Tampak tebing bebatuan besar disini.  Dari tempat ini  juga bisa menikmati  indahnya sunset. Puncak Gunung Merapi juga terlihat jelas dari sini.  Sayang sekali, ketika kami tiba disana cuaca mendung dan sedikit hujan, maka kami tidak bisa maksimal menikmati keindahan di Puncak Wayang ini.

Perjalanan kami lanjutkan ke Puncak Watu Bantal

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Menuju Puncak Watu Bantal ini harus melewati bebatuan besar. Setibanya di Puncak Watu Bantal, kembali  panorama indah yang terlihat. Dari sini juga  kita bisa melihat Embung Nglanggeran dari jarak jauh.

Setelah itu perjalanan kami lanjutkan ke Embung Nglanggeran

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sudah terdengar adzan Maghrib, ketika kami tiba disana.  Meskipun sedikit gelap, tetapi masih bisa menikmati keindahannya. Embung seluas 0,34 Ha  ini  digunakan sebagai pengairan kebun buah durian dan kelengkeng seluas 20 hektar. Embung ini terletak 1, 5 km sebelah tenggara pintu masuk Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba. Datang ke Embung ini lebih cocok di pagi hari, disitu bisa menikmati sunrise.

Sepulang dari Embung Nglanggeran, kami singgah di Griya Coklat. Toko ini masih berada diwilayah Nglanggeran dan  diberdayakan oleh warga setempat juga. Komoditas coklat dikelola oleh managemen griya coklat yang berbasis masyarakat yang dibentuk Gapoktan Kumpul Makaryo yang memiliki anggota 645 anggota petani dari 5 kelompok tani di desa Nglanggeran. Hasil dari olahan produk kakao ini adalah dodol kakao, criping pisang salut coklat,  chocomix classic, chocomix fee, chocomix tawa, chocomix ice, dan coklat batang. 

Jika anda tertarik berwisata ke desa Wisata Nglanggeran ini, ada 80 home stay dengan  satu  rumah minimal  untuk empat  orang. Harga bervariasi mulai dari Rp. 150.000,00 per orang, dan  anda akan dilayani selayaknya keluarga. Disini ada bisa belajar dan mengetahui budaya warga setempat.

Tertarik untuk berkunjung kesana?  Informasi lebih lengkap ada di  Gunung Purba

Akhirnya  keterbatasan waktu membuat  Sumber  Mata Air Comberan, Air Terjun Njurug Talang Purba dam Kedung Kandang yang masih terletak di Nglanggeran ini, tidak sempat kami kunjungi.  Waktu menunjukkan pukul 19.15 WIB ketika  rombongan kami harus  meninggalkan lokasi dan segera kembali ke Dinas Pariwisata Jogja.

Terimakasih Dinas Pariwisata Jogja.

Yogyakarta, 29 Januari 2017 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun