"Sudah nggak marah lagi?" Bagus mengambil salah satu kursi di meja makan. Pagi itu dia terbangun agak siang, dan menemukan sang istri sudah sibuk sendiri di dalam dapur.
Tidak ada oseng mercon. Hanya telur dadar dan tempe goreng, dengan nasi hangat yang menggoda selera. Matanya masih mengawasi sang istri, yang berusaha terlihat baik-baik saja.
Namun sisa bengkak di mata Utari, tidak dapat disembunyikan. Rasa bersalah kemudian menggerogoti dada Bagus. Pria yang baik, tidak akan membiarkan wanitanya menangis seperti itu.
"Ri, maafkan Mas. Tidak seharusnya Mas berbuat seperti itu. Maaf karena sudah membuat kamu menangis. Maaf karena sudah tidak jujur sama kamu." Bagus meraih tangan Utari, kemudian mengenggamnya dengan erat. Dia mengecup satu persatu ruas jari lentik milik istrinya.
Utari menunduk dalam, berusaha untuk tidak menangis lagi. "Sudahlah, Mas. Tidak perlu meminta maaf. Riri tau, Mas melakukan ini semata karena ingin menjaga perasaanku. Lagipula Mbak Windri memang hadir jauh sebelum kita saling mengenal."
"Ri, kamu tau jika maksud Mas bukan seperti itu. Kamu yang terbaik dalam hidup Mas. Aku sangat mencintaimu, dan ingin selamanya hanya hidup bersamamu."
Bahkan hati Utari yang seharusnya merasa bahagia, justru kini kian hampa. Sorot mata lembut dan tenang milik Bagus Pandhita sudah menjelaskan semua. Tapi Utari yang tidak percaya akan dirinya sendiri.
"Siapa Ayah Agni? Aku pikir, Mbak Windri masih bujangan. Aku tidak pernah tau jika dia ternyata pernah berumah tangga."
"Windri belum pernah menikah."
Jawaban singkat itu seperti sudah menjelaskan segalanya. "Dia pernah menjalin hubungan dengan seorang pria, hingga kebobolan. Tapi begitu dia ingin mengatakan segalanya, pria itu ternyata sudah menikah dengan wanita pilihan keluarganya."
"Tidak. Itu bukan tentang kita." Bagus menambahkan ketika melihat sorot keraguan di mata Utari.
"Itu sebabnya dia memanfaatkan kebaikan hati Mas Bagus." Utari kembali memasang wajah masam.
"Agni tidak memiliki Ayah."
"Lalu selama ini, Mas sudah berperan sebagai Ayah untuk anak itu. Tapi kenapa Mas tidak pernah menceritakan ini semua kepadaku? Kenapa Mas nyembunyiin hal sepenting itu dari Riri?"
"Mas tahu, kalo Mas udah salah. Selama ini Agni tinggal dengan Kakek dan Neneknya di Jakarta. Tapi beberapa hari ini, dia ikut Windri ke sini. Jadi, kemarin itu Windri ingin jalan-jalan dan mengajak Agni."
"Lalu dia meminta Mas untuk menemani mereka, seperti layaknya keluarga bahagia lain. Bahkan wanita yang aku pikir begitu berbudi, ternyata tidak memikirkan perasaan wanita lain?"
"Ri, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Di sini dia tidak memiliki banyak teman, satu-satunya yang dekat hanya aku."
"Iya, aku tahu!" Betapa Utari ingin berteriak dengan ketidakpekaan suaminya. Bagus Pandhita terlalu baik, hingga Windri mungkin mengira dia masih memiliki harapan. Seorang kepala daerah yang super sibuk, mau menemani seorang wanita biasa jalan-jalan? Bahkan dia bukan istrinya?
Bahkan Utari yakin, Windri memiliki banyak penggemar yang siap antri mengantar ke manapun dia menginginkan. Tapi Windri memilih Bagus Pandhita, pria yang jelas-jelas telah memiliki seorang istri.
"Sebelum kita menikah, dia memang pernah mengutarakan perasaannya kepadaku. Tapi aku hanya bisa memiliki dia sebagai seorang sahabat."
"Karena dia tidak menemukan Taman itu, bukan? Jika tidak terikat dengan aturan itu, Mas pasti sudah lama menikahi Mbak Windri!" Perasaan Utari semakin teriris saja.
Bagus Pandhita menghela napas panjang. Hal itu hanya berarti satu hal. Ucapan Utari tidak dipungkiri pria itu. Selain mantan kekasih Bagus Pandhita yang terkenal seantoro jagad Indonesia, ternyata masih ada nama Windri. Bahkan mungkin wanita lain juga.
"Mas tidak ingin mengandaikan apapun. Toh, sekarang Mas sudah memiliki kamu. Jadi, kamu hanya harus percaya jika Mas tidak akan pernah menduakanmu."
Mungkin rasa cemburunya memang terlalu berlebihan. Tapi Utari hanya wanita biasa. Jadwal kegiatan harian yang padat, intensitas pertemuan yang tidak teratur, ditambah pria itu justru bisa pergi dengan wanita lain. Hati siapa yang tidak akan curiga?
"Aku akan mencoba mempercayai apapun perkataan Mas Bagus. Tapi tolong, jaga hati Riri. Karena hati ini sangat rapuh. Riri tidak ingin jatuh berkeping-keping."
Utari menyurukkan kepala ke dalam pelukan sang suami. Dia tidak akan pernah rela, dada bidang itu menjadi sandaran kepala wanita lain. Bagus Pandhita hanya miliknya. Maka mulai sekarang, dia akan bertekad mempertahankan pria itu. Dia akan melakukan, bagaimanapun caranya.
"Mas tidak mau berjanji, jika Mas tidak bisa menepati. Tapi, Mas hanya bisa berkata, jika Mas akan melakukan yang terbaik untuk hubungan kita. Kita akan melalui semua, bersama-sama. Mas juga ingin, agar Riri lebih memahami sifat Mas dari sekarang."
"Jangan pergi, tidak bilang-bilang dulu sama Riri!" rajuk Utari sambil melepaskan diri. Namun Bagus Pandhita justru menahan tengkuknya, dan menempelkan bibir hangatnya di atas bibir Utari.
"Sejauh apapun Mas pergi, hanya kamu satu-satunya tempatku berlabuh." Bagus Pandhita kembali mengecup bibir Utari, hingga membuat wanita itu tersipu.
"Sarapan dulu, Mas!" seru Utari mencoba mengurai tangan sang suami. Namun bukannya menurut, Bagus justru mengangkat tubuh Utari ke dalam pelukan, "Mas Bagus! Nanti Mas telat ngantor!"
"Siapa suruh membiarkan Mas, tidur sendirian di sofa?" Bagus menyeringai nakal, ketika Utari menjerit-jerit minta diturunkan.
"Turunin, Mas! Nggak enak kalo diliat sama Bibi!"
"Bibi baru datang jam sembilan, kan? Sekarang dia pasti lagi pergi ke pasar."
"Mas Bagus, gimana kalo Mbak Puspa tiba-tiba datang?"
"Aku udah minta izin kok, kalo mau datang agak telat." Ucapan santai Bagus, sukses membuat Utari bungkam.
Dia berpegangan pada kedua bahu kokoh suaminya, membiarkan tubuhnya dipondong ke dalam kamar mereka. Windri boleh melambungkan impian setinggi langit, tapi Utari percaya jika Bagus Pandhita hanya miliknya seorang.
Begitu sampai di dalam kamar, Bagus segera membaringkan tubuh Utari di atas kasur. Dia menatap penuh minat, pada Utari yang terlihat agak jengah. Perlahan dia menjatuhkan tubuh, hingga berada di atas tubuh sang istri.
Jemari panjangnya mulai membelai helaian rambut Utari dengan kelembutan seringan kapas. Kemudian, wajahnya kian mendekat hingga deru napas teraturnya menerpa wajah Utari.
Tatapan mereka saling mengunci. Utari merasakan getaran kejut listrik itu merambahi seluruh permukaan kulit, begitu Bagus Pandhita mulai melancarkan sentuhan-sentuhan di setiap inci tubuhnya.
Segalanya terasa begitu indah dan sakral. Bagus Pandhita menyentuhnya penuh pemujaan, dan tanpa terburu-buru. Seolah waktu di sekitar mereka terhenti sejenak. Hanya ada mereka berdua, mereguk manisnya madu cinta yang sungguh bak di surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H