Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 33

18 Mei 2021   20:35 Diperbarui: 18 Mei 2021   20:37 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan masih mengguyur dengan deras. Utari menyeka airmata yang bergulir di pipi. Dia membersit hidung dengan tisu. Sepasang matanya sudah bengkak dan memerah karena terlalu banyak menangis. Demikian juga dengan hidungnya.

Dia meringkuk di sofa tunggal di depan jendela kamar. Sesekali petir menyambar, memperlihatkan area taman gelap di halaman. Bagus Pandhita tidak akan menganggu. Utari sangat mengetahui, pria itu akan membiarkan dirinya sampai menemukan ketenangan kembali.

Bagus Pandhita tampak terkejut dengan ucapan Utari. Pria itu menatap sang istri penuh selidik. Dengan masih mempertahankan sikap tenangnya, dia menaruh cangkir di atas meja.

"Kamu tau darimana, jika Mas baru saja pergi dengan Windri?" bahkan pria itu tampak tidak menyangkal.

"Apa sesulit itu berbicara jujur kepadaku? Aku sudah melakukan segalanya demi rumah tangga ini. Tapi apa yang sudah Mas Bagus lakukan kepadaku?" Utari tidak ingin terlihat lemah di depan pria itu. Namun tetap saja, sebutir airmata bergulir mengalir  keluar.

"Aku tidak akan meminta maaf untuk yang sudah dilakukan dengan mereka tadi." begitu enteng, seakan Utari memang berada di urutan terakhir orang yang penting di dalam hidup pria itu.

"Kenapa? Bahkan membuatkan oseng mercon yang sia-sia juga tidak memerlukan kata maaf?" Utari menatap pria itu dengan terluka.

"Aku sedikit melupakannya. Besok aku bisa memakannya untuk sarapan."

Utari sedikit membanting cangkir di atas meja. "Apa wanita itu begitu penting bagi Mas Bagus? Atau karena anak itu?"

"Riri, aku pikir kita tidak perlu membahas hal tidak penting ini. Aku lelah, dan ini sudah larut. Kita tidur dulu, besok kita akan berbicara lagi dengan kepala dingin."

"Nggak, Mas! Bagi Mas ini mungkin bukan masalah besar. Tapi aku wanita! Aku juga istri Mas! Apa Mas pernah memikirkan perasaanku ketika bersama dengan Mbak Windri?"

"Kamu nggak akan berbicara seperti ini, kalo kamu tau latar belakang kehidupan dia!" untuk pertama kalinya, Utari melihat sedikit emosi timbul di mata pria itu, "Ri, untuk kali ini tolong ngertiin Mas."

"Selama ini aku kurang pengertian yang gimana lagi, Mas?" Utari ingin sekali berteriak, hanya saja dia juga masih memiliki kesopanan, "Mas Bagus ini pejabat! Reputasi Mas di atas segala-galanya! Jika dia butuh bantuan Mas, kenapa Mbak Windri nggak dateng aja ke rumah?"

"Ri, bukan dia nggak mau. Tapi dia nggak enak sama kamu."

Utari hanya ingin melempar cangkirnya ke wajah Bagus Pandhita. "Dia lebih enak menemui Mas Bagus di belakangku daripada meminta izinku? Lalu ketika Mas Bagus berusaha memberi kabar padaku, dia selalu bisa mengalihkan dengan segala upaya bukan?"

Bagus Pandhita hanya terdiam. Hal itu cukup menjelaskan seperti apa sifat Windri. "Apalagi anaknya juga sangat lucu. Atau dia memang berusaha menahan Mas Bagus, dengan alasan anaknya yang kangen sama Mas Bagus?"

"Ri, sejak lahir Agni memang sudah menjadi anak angkatku."

Jantung Utari seperti tersambar petir yang mulai berbunyi bersahut-sahutan di kejauhan. Bahkan kenyataan jika Windri telah memiliki anak, baru diketahui sekarang. Bagus Pandhita tidak pernah menceritakan mengenai masa lalunya. Utari mengetahui beberapa mantan pria itu, hanya dari media yang belum tentu kebenarannya.

Baru disadari, jika dia tidak tahu apapun mengenai pria itu. Utari menggigit bibir, menahan kejengkelan dan sakit hati yang makin menggerogoti. Selama ini, Bagus Pandhita hanya menawarkan madu manis. Namun perlahan berubah menjadi basi dan terasa begitu pahit di lidah.

"Kenapa---kenapa selama ini Mas tidak menceritakan apapun kepadaku?" 

"Karena aku pikir itu tidak terlalu penting. Lagipula Windri tidak mau, rumah tangga kita diliputi prasangka. Aku selalu menganggap dia tidak lebih dari sekedar sahabat. Dia tidak memiliki siapapun untuk bersandar."

"Jika dia mengerti perasaanku, maka tidak seharusnya kalian melakukan hal seperti itu kepadaku. Mas nggak perlu berbohong untuk menutupi pertemuan-pertemuan itu!"

Bagus Pandhita berusaha meraih tubuh Utari, akan tetapi wanita itu segera menjauh. Dia tahu sudah berbuat salah. Tidak seharusnya dia main hati di belakang sang istri. Seharusnya dia meminta maaf, tapi ucapan itu terasa sulit dikeluarkan.

Bahkan dia bukan pria kemarin sore. Dia sangat mengetahui jerat yang dipasang Windri. Wanita itu masih belum menyerah, untuk mengikat hatinya. Anggap saja dia bodoh, Windri sangat pandai memanfaatkan Agni sebagai senjata.

Sialnya, ponsel Bagus ditahan oleh Windri. Wanita itu meminjam ponsel miliknya dengan alasan ponsel Windri tidak dibawa. Bagus baru menyadari, ketika mereka sudah hendak pulang.

Windri mematikan ponsel miliknya. Puluhan miscall dan pesan segera membanjir, begitu ponsel itu dihidupkan. Dia bukan hanya dibuat lupa dengan janji makan malam itu, dia bahkan lupa jika ada seorang wanita menawan yang tengah menanti di rumah.

Sekali lagi Bagus merasa begitu berdosa, kala sepasang mata yang selalu berbinar indah itu, kini bersimbah airmata. Tak diragukan lagi, jika hatinya sepenuhnya sudah menjadi milik Utari. Namun perasaan simpati yang terlalu besar di dirinya, selalu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang terdekat.

"Apa kamu masih belum percaya sama, Mas?" tanya Bagus sedikit putus asa.

"Riri ingin sepenuhnya percaya sama Mas. Tapi ini terlalu sulit. Untuk malam ini, Mas tidur di kamar tamu aja. Riri ingin sendirian, dan janji nggak akan ngelakuin hal-hal yang dilarang agama!"

Setelah itu, Utari beranjak meninggalkan tempat duduk. Dia melangkah cepat menuju ke pintu kamar. Bagus hanya menatap nanar, begitu mendengar pintu kamar di kunci dari dalam.

Pria itu menghela napas lelah. Tidak ada yang dapat dilakukan. Karena sia-sia membujuk wanita yang sedang marah. Bagus memilih membiarkan Utari sendiri, daripada merengkuhnya ke dalam dekapan hangat.

Tidak ada yang disembunyikan dari sang istri. Hubungannya dengan Windri juga tidak istimewa. Namun terkadang kenyamanan itu memang menjebaknya. Terlebih ada sosok Agni di antara mereka. Meski bukan anaknya, Agni sudah seperti bagian dari hidup Bagus Pandhita. 

Dan dia tidak pernah menceritakan hal itu kepada Utari.

Utari mengeratkan jaket yang memeluk dirinya. Udara malam kian dingin, sementara hujan masih tak kunjung berhenti. Dia tidak bisa berpikir. Otaknya masih dipenuhi bayangan kebersamaan suaminya dengan wanita itu. Juga anak itu. Kemudian perkataan Bagus yang tanpa dosa. Seakan apa yang dilakukan pria itu, memang suatu hal yang wajar.

"Ya Allah, aku mencintai pria ini. Bagaimana mungkin aku memiliki niat untuk meninggalkannya, sementara hatiku tidak mungkin bisa berpaling."

Semua wanita memang ingin dekat dengan Bagus Pandhita. Utari menyadari kenyataan itu. Mungkin tidak seharusnya dia bersikap kekanakan. Cemburu sudah membutakan mata dan hatinya.

Dia takut kehilangan suaminya. Dia masih meragukan perasaan Bagus Pandhita kepadanya. Tidak, pria itu tidak akan berpaling kepada siapapun dengan hubungan unik yang terjalin di antara mereka.

Utari hanya harus bersabar sedikit. Dia hanya perlu berkorban sedikit, untuk tetap tegar berada di sisi pria itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun