Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 7

5 April 2021   22:00 Diperbarui: 5 April 2021   22:04 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Utari membaringkan tubuhnya yang lelah di atas kasur. Dia bahkan membiarkan tas ransel tergeletak begitu saja di atas lantai. Mata gadis itu sudah hampir terpejam, ketika teriakan Mamanya kembali mengingatkan agar dia berganti baju terlebih dahulu.

Dengan malas, Utari membawa tubuhnya ke dalam kamar mandi. Dia melepaskan semua pakaian berbau keringat yang menempel di tubuh. Gadis itu mengisi bathtub dengan air hangat dan sedikit aroma terapi. Setelah itu, dia merendam seluruh tubuh di dalam air dan hanya menyisakan kepala saja.

Perkemahan itu berakhir dengan tidak baik bagi Utari. Bagaimanapun dia masih teringat tatapan marah Bagus Pandhita kepadanya. Pria itu mengantarkan seluruh peserta acara ke dalam bus. Semua harus berjabat tangan dengan Bagus, tidak terkecuali Utari.

"Kamu tidak merasa kehilangan sesuatu, Mbak Riri?" tegur pria itu tenang ketika tangan Utari sudah memegang pinggiran pintu masuk bus. Gadis itu tampak bingung sejenak, dan berusaha memahami maksud perkataan pria itu.

Lagi-lagi Utari menjadi peserta dalam urutan terakhir. Di belakang sudah tidak ada lagi antrian, dan Bagus Pandhita tengah menatapnya sambil bersidekap. Jelas sekali, pria itu tengah menahan amarah.

"Ya, maksud Bapak apa ya?" gadis itu mengikuti arah tatapan Bagus Pandhita. Tidak ada cincin platina melingkar di jari manis tangan kirinya.

"Saya harap tidak ada yang tertinggal di dalam hutan sana, atau saya akan memastikan sang pemilik mendapatkan balasan setimpal!"

Utari sampai bergidik ngeri mendengar ucapan dingin pria itu. Sebelum dia terbebas dari rasa terkejut, Bagus Pandhita sudah meninggalkannya sendirian dengan aura membunuh.

Apa pria itu sudah gila? Apa kata orang-orang jika melihat cincin itu tiba-tiba melingkar di jari manisnya? Mereka pasti akan curiga, dan Utari akan langsung dihubungkan dengan taman nirwana itu.

"Tuhaaan, apa yang harus aku lakukan? Apa aku keluar saja dari pekerjaanku ya? Apa aku harus menerima cincin itu? Tapi aku tidak memiliki keinginan untuk menikah muda! Ah, dia benar-benar brengsek!"

Utari menendang-nendang air dengan kedua kaki. Pikirannya benar-benar kalut. Dia juga mulai berdoa, agar hari Senin akan datang lebih lambat dari biasa. Dia tidak tahu bagaimana bersikap kepada Bagus Pandhita nanti. Apalagi jika cincin itu masih juga belum dipakai kembali.

Tapi bukankah pertalian itu tidak bisa dipaksakan? Bagus Pandhita boleh saja memilih dirinya menjadi calon pendamping. Tapi bukankah dirinya belum memutuskan, setuju atau tidak untuk menerima niat pria itu?

Namun Utari agak ragu, jika Bagus Pandhita mau menerima penolakan. Meski pria itu dapat dikategorikan sangat mempesona dengan penampilan nyaris sempurna, tapi Utari tidak yakin dengan perasaannya. Memutuskan untuk terikat satu dengan yang lain memerlukan proses, sementara mereka tidak cukup saling mengenal satu sama lain.

"Ketemu cowok ganteng nggak di sana?" Rika bertanya kepada putri bungsunya ketika Utari bergabung di meja makan.

"Mama apaan sih! Riri masih belum mikirin cowok, Ma." Utari mencomot satu pisang goreng dari piring.

"Sapa tau aja, anak Mama yang cantik ini bisa menggaet hatinya Bapak Bupati ganteng kita." Utari sukses tersedak mendengar ucapan sang Mama.

Rika cepat-cepat menyodorkan air putih, yang langsung diteguk Utari dengan rakus, "Mama nggak usah punya pikiran yang aneh-aneh deh! Bapak Bupati kan udah tua, masa iya aku yang masih seger gini mau sama dia!"

"Hush! Nggak boleh sombong gitu. Ibarat kelapa, Pak Bagus itu kelapa yang sudah tua. Dia itu udah banyak santannya. Hidupnya sudah mapan, penampilan oke, jabatan bagus, apalagi? Bahkan mama rela kamu dinikahin dia daripada si jeki jeki itu!"

"Aduh, Ma! Bukan Jeki, tapi Choky!"

"Mama nggak peduli! Pokoknya kalo ada lamaran bagus, Mama akan langsung terima!"

"Mama tega banget sih! Riri kan masih muda, Ma. Biarin Riri berkarir dulu ya."

"Berkarir itu masih bisa kamu jalani, meski udah berumah tangga. Nggak usah banyak alasan. Pokoknya Mama pengin liat kamu nikah secepatnya!"

Utari hanya mendengus kesal. Berbicara mengenai pernikahan dengan Mama, tidak pernah dimenangkan oleh Utari. Wanita dalam silsilah keluarga Utari memang selalu menikah di awal usia dua puluhan. Kakak perempuan Utari sudah menikah dengan seorang polisi dua tahun lalu. Sekarang giliran dirinya yang menjadi sasaran empuk sang Mama.

"Nyari calon dulu, Ma."

"Masa iya di tempat kerja nggak ada yang nyantol satupun. Perasaan anak perawan Mama nggak kalah cantik sama Bunga Citra Lestari."

Gadis itu memutar kedua matanya dengan bosan. Mamanya pasti akan menari tujuh hari tujuh malam, jika tahu sang Bupati kesayangan memang berniat mengikat sang putri.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Rika ketika tanpa sadar, Utari mengacak-acak rambutnya dengan gemas.

"Eh, nggak. Ini tadi kulit kepala Riri gatel aja, kayaknya tadi keramasnya nggak bersih." Utari segera beranjak dari kursi, sebelum ceramah Mama mengenai pernikahan membuat kupingnya merah.

Begitu sampai di dalam kamar, Utari segera mengunci pintu. Dia langsung membuka lemari baju, dan meraih kotak kecil dari beludru yang diletakkan di antara tumpukan celana dalam. Dengan ragu dia membuka kotak itu, dan cincin platina polos itu masih bertengger manis di sana.

"Apa yang harus aku lakukan? Mengapa jadi sesulit ini sih? Kenapa harus aku yang tersesat di tempat itu?" Utari menyandarkan tubuh di pintu lemari pakaian, sebelum jatuh terduduk di atas lantai.

"Lalu kenapa ukurannya pas di jariku?" gumam Utari begitu memasangkan cincin itu di jari manisnya. Dia memperhatikan sejenak benda itu, dan merasa heran dengan ketepatan ukurannya.

Kemudian dia melepaskan kembali cincin itu, dan menyimpan dengan hati-hati di tempat semula. Jika wanita lain yang menerimanya pasti akan sangat bahagia. Tapi tidak dengannya.

Dulu semasa sekolah, Utari adalah gadis yang sangat terkenal. Banyak dari lawan jenis mengharapkan dirinya menjadi kekasih, hingga diapun bingung memilih. Hingga akhirnya, Utari justru tidak menerima siapapun. Dia lebih nyaman menjalin hubungan persahabatan, karena dia bisa dekat dengan siapapun. Lagipula dia tidak mau selalu dicaci hanya karena dituduh merebut pacar orang.

Utari tidak pernah memiliki kekasih. Namun sewaktu di perguruan tinggi, dia pernah tertarik kepada tetangga sebelah rumahnya. Pemuda seumuran dengannya itu bernama Choky, dan hubungan mereka juga sangat dekat.

Sayang, Choky terpaksa harus pindah ke Milan mengikuti kedua orangtuanya. Mereka masih sering berhubungan lewat Skype, untuk sekedar melepas rasa rindu. Namun pada chat terakhir mereka, tepatnya delapan bulan yang lalu. Choky mengatakan jika dia sedang dekat dengan seorang gadis di sana, dan dia berharap Utari juga melakukan hal yang sama.

Sebagai sahabat, Utari tentu saja ikut merasa senang dengan pilihan Choky. Hanya saja, dia juga merasa sakit hati ketika perasaannya ternyata tidak terbalas. Hubungan jarak jauh seperti itu memang sangat rentan. Rupanya Choky tidak mampu bertahan dari godaan.

Tidak mudah memang melupakan perasaan yang sudah mengakar. Namun Utari berusaha memahami keadaan Choky. Sejak saat itu, komunikasi mereka terputus. Sesekali Choky masih mengirimkan email, namun tidak pernah dibalas oleh Utari.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun