Tapi bukankah pertalian itu tidak bisa dipaksakan? Bagus Pandhita boleh saja memilih dirinya menjadi calon pendamping. Tapi bukankah dirinya belum memutuskan, setuju atau tidak untuk menerima niat pria itu?
Namun Utari agak ragu, jika Bagus Pandhita mau menerima penolakan. Meski pria itu dapat dikategorikan sangat mempesona dengan penampilan nyaris sempurna, tapi Utari tidak yakin dengan perasaannya. Memutuskan untuk terikat satu dengan yang lain memerlukan proses, sementara mereka tidak cukup saling mengenal satu sama lain.
"Ketemu cowok ganteng nggak di sana?" Rika bertanya kepada putri bungsunya ketika Utari bergabung di meja makan.
"Mama apaan sih! Riri masih belum mikirin cowok, Ma." Utari mencomot satu pisang goreng dari piring.
"Sapa tau aja, anak Mama yang cantik ini bisa menggaet hatinya Bapak Bupati ganteng kita." Utari sukses tersedak mendengar ucapan sang Mama.
Rika cepat-cepat menyodorkan air putih, yang langsung diteguk Utari dengan rakus, "Mama nggak usah punya pikiran yang aneh-aneh deh! Bapak Bupati kan udah tua, masa iya aku yang masih seger gini mau sama dia!"
"Hush! Nggak boleh sombong gitu. Ibarat kelapa, Pak Bagus itu kelapa yang sudah tua. Dia itu udah banyak santannya. Hidupnya sudah mapan, penampilan oke, jabatan bagus, apalagi? Bahkan mama rela kamu dinikahin dia daripada si jeki jeki itu!"
"Aduh, Ma! Bukan Jeki, tapi Choky!"
"Mama nggak peduli! Pokoknya kalo ada lamaran bagus, Mama akan langsung terima!"
"Mama tega banget sih! Riri kan masih muda, Ma. Biarin Riri berkarir dulu ya."
"Berkarir itu masih bisa kamu jalani, meski udah berumah tangga. Nggak usah banyak alasan. Pokoknya Mama pengin liat kamu nikah secepatnya!"