"Saya---saya minta maaf, Pak!" Utari berbicara dengan tergagap.
"Jangan karena saya bersikap baik kepadamu, maka kamu melupakan posisi kamu!" ucap Bagus tajam.
"I---iya, Pak. Sekali lagi maafkan sikap kekanakan saya."
Utari menundukkan kepala, tanpa berani memandang mata Bagus Pandhita yang kelihatannya masih berlumur kemarahan. Hati Utari mencelos menahan sakit tak terperi. Rasa lapar yang tadi mendera, kini sudah menghilang. Sepertinya begitu juga dengan Bagus.
Bagus tampak duduk sambil menimang ponsel Utari di tangan. Sementara tatapan matanya menghunjam wajah gadis itu yang tertunduk dalam. "Makanlah, ada sesuatu yang harus kukerjakan sekarang."
Utari menatap punggung pria itu, yang pergi begitu saja meninggalkan meja makan. Ponselnya tergeletak tidak berdaya di samping piring Bagus, yang isinya masih utuh tak tersentuh.
"Ya, Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan tadi?" airmata mulai membasahi pipi Utari. Dia membekap mulutnya dengan kedua tangan, takut Bagus Pandhita mendengar isakannya.
Tentu saja Bagus Pandhita marah kepadanya. Dia sudah menyinggung privasi pria itu. Jika dia menyebarkan foto makan malam itu, maka sudah dipastikan gosip akan merebak. Bukan hanya Bagus Pandhita yang akan tercoreng namanya, namun dia juga.
Orang akan menggosipkan foto itu. Mereka akan menuduhnya sebagai gadis muda penggoda. Sudah jelas, pria dewasa seperti Bagus Pandhita tidak akan tertarik pada gadis biasa seperti dirinya. Posisinya sebagai pegawai honorer juga akan terancam.
"Kamu memang bodoh, Tari!" isak Utari sambil memukul-mukul kepalanya.
Karena merasa udara yang dihirupnya semakin sesak, gadis itu memutuskan untuk keluar. Dia menuju Gazebo di belakang rumah. Udara malam yang dingin menyambutnya, begitu Utari membuka pintu belakang. Sambil memeluk dirinya, Utari berjalan pelan menuju tempat itu.