Mohon tunggu...
IAS
IAS Mohon Tunggu... - -

Saya menulis, karena dunia ini sementara, sedang tulisan akan selalu abadi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Latah "Kiri" Sebuah Gejala Kekinian

16 April 2016   17:38 Diperbarui: 16 April 2016   17:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata "kiri" dalam ranah politk di negeri ini masih menjadi sebuah momok yang menakutkan. Tak jarang, kegiatan yang mengusung tema "kiri" selalu melahirkan polemik bahkan penolakan yang represif dari berbagai pihak.

Di sisi lain, istilah "kiri" menjadi sebuah gejala kekinian, karena pandangan dangkal yang menganggap bahwa "kiri" itu keren, "kiri" itu seksi, dan "kiri" itu menarik.

Sejatinya, perlu sebuah kajian mendalam untuk memahami arti "kiri". Sebab, tokoh-tokoh "kiri" pun masih sering memperdebatkannya. Salah satunya adalah perdebatan antara Trotsky dan Stalin yang pada waktu itu, Trotsky mencemooh sosialisme ala marxisme-lelinisme yang diterapkan oleh Stalin. Trotsky menuangkannya dalam sebuah buku berjudul Bolshevikisme dan Stalinisme yang pada akhirnya menghantarkan Trotsky pada pengaisangannya di Siberia.

Selain Trotsky dan Stalin, Marx dan Bakunin pun pernah berdebat sengit tentang pandang "kiri" mereka terhadap negara di sidang intenasionale di Den Haag. Ironisnya, mereka berdua adalah dua tokoh "kiri" yang sangat berpengaruh. Perdebatan itu pun menghantarkan Bakunin pada pengasingannya.

Di indonesia, pasti kita tahu apabila kita membaca karya D.N Aidit berjudul "Menempuh Jalan Rakyat". Aidit waktu itu pun mencemooh sosialisme ala Sjahrir yang menurut hematnya, lepas dari estetika "kiri".

Merujuk pada sejarah, istilah "kiri" pertama kali dikenal di Perancis pada abad ke-18. Kala itu, kaum pembela pemerintah duduk di kanan, dan pembela rakyat duduk di kiri. Dari situlah kita kemudian mengenal terminologi "kiri" dalam sebuah spektrum politik.

Pada intinya adalah, mempelajari "kiri" tidak hanya bisa dengan membaca satu atau dua literatur saja. Perlu kajian yang dalam tentang arti "kiri" yang sebenarnya.
Pernah dengar nama gerakan "neo-marxis" atau "new left"? Mereka mempelajari "kiri" dari teks asli Karl Marx bukan tafsiran lenin dlsb, karena mereka menolak komunisme ala lenin tersebut.

Oleh karen itu, pelajarilah "kiri" dengan teliti, bukan hanya sekedar nafsu akan sebuah ideologi. Temukanlah "kiri" yang hakiki bukan sekedar "utopi". Saya pun demikian, masih jauh dari seorang "kiri" dalam arti sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun