Mohon tunggu...
Yasya Silmi
Yasya Silmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

INFP

Selanjutnya

Tutup

Book

MENGUPAS MAKNA KEHIDUPAN DALAM PUISI KARYA KO HYEONG RYEOL

20 Juni 2023   18:47 Diperbarui: 20 Juni 2023   18:55 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku antologi puisi “Ikan Adalah Pertapa” ini terbagi kedalam empat bagian sub-bab. Pada bagian pertama yang diberi judul “Bagai Kenangan Milik Cahaya yang Sangat Dekat” penyair berusaha menyampaikan renungan kehidupan melalui objek-objek yang dekat dengan kehidupan manusia, seperti: rumput, ombak, awan, cahaya, kentang, dan lain sebagainya. Berikut adalah penggalan dari puisi berjudul “Menangkap Cahaya yang Tak Dapat Menyebrang” yang menggambarkan renungan kehidup yang berusaha digambarkan oleh penyair melalui bait puisinya.

“Sewaktu melewati hutan berbunga

cahaya kembali menyentuh bunga yang mekar dan gugur

Lalu di seberang sana kehilangan ingatan sebelumnya Aku hendak dibawa ke mana?” 

(“Menangkap Cahaya yang Tak Dapat Menyebrang, Ryeol, hal. 10).

“Jelas sudah, seluruh waktu kita telah dikorbankan

Sesaat sebelum beberapa cahaya mekar kembali di depanmu

berupaya membawakan napas panjang dan puisi

Namun, tak ada hal yang tak terlambat” (“Menangkap Cahaya yang Tak Dapat Menyebrang, Ryeol , hal. 11).

           Pada kutipan tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa kata cahaya di dalam penggalan puisi tersebut adalah makna konotasi dari sebuah impian, harapan, ataupun cita-cita. Penyair di dalam puisi ini menjelaskan bagaimana dalam mencapai sebuah impian manusia banyak dihadangkan oleh rintangan. Meski banyak waktu dan tenaga yang dikorbankan untuk mencapai sebuah impian, kita harus tetap berusaha dan tak pantang menyerah. Karena sejatinya tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu hal baru.

           Pada bagian kedua yang diberi judul “Biseondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mi Dingin” penyair menggambarkan sebuah renungan kehidupan melalui beberapa pengalaman pribadi dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini terlihat dari beberapa judul puisi pada sub-bab ini, seperti pada puisi berjudul “Karena Bukcheon Telah Lampau” dan “Woiseorak”. Semua judul tersebut adalah nama-nama tempat yang ada di Korea. Untuk sub-bab ini, mungkin untuk masyarakat Korea akan lebih mudah membayangkan bagaimana maksud alur puisi yang ditulis oleh Ko Hyeong Ryeol ini, namun untuk masyrakat Indonesia akan sedikit sulit untuk membayangkannya karena tempat tersebut belum pernah dilihat ataupun dikunjungi. Berikut ini adalah kutipan yang menunjukkan beberapa tempat yang digambarkan Ko pada puisi berjudul “Biseondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mi Dingin”.

“Jalan yang terlihat melalui jendela kaca depan menampakkan pemandangan

lama, puncak Gunung Baekwun, Obin-ri dan pohon di tepi jalan, 

beberapa gedung apartemen, SD, Taman Galsan, serta 

pohon di tepi jalan” (“Biseondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mi Dingin”, Ryeol, hal. 55).

                Pada kutipan tersebut terlihat ada beberapa nama tempat di Korea yang tersebut dalam penggalan bait puisi tersebut, seperti: Gunung Baekwan, Obin-ri, dan Taman Galsan. Lalu, pada bagian ketiga yang diberi judul “Gerombolan Manusia Debu” penyair berusaha menyampaikan bagaimana rapuhnya manusia, serta akan selalu ada jalan untuk setiap permasalahan dalam hidup. Berikut ini adalah penggalan puisi berjudul “Tetesan Air, Tetesan Air, Hanya Tetesan Air” yang menggambarkan hal tersebut.

“Pada saat itu, aku pulang ke kehidupan yang asing

mendengarkan suara itu di sana dengan tenang

Pada punggung hitamku...terus berjatuhan

Aku... meletakkan bejana di tempat terjatuh...” 

(“Tetesan Air, Tetesan Air, Hanya Teyesan Air”, Ryeol, hal. 114).

           Pada kutipan tersebut dapat terlihat bagaimana manusia terkadang berada pada jalan tanpa arah, namun akan selalu ada petunjuk ke arah yang lebih baik ketika kita mengikuti takdir yang membawa kita. Untuk gaya bahasa yang digunakan oleh penyair ini kebanyakan menggunakan gaya bahasa atau majas retorika. Gaya retorika ini digunakan oleh penyair untuk menegaskan opini yang ingin disampaikan oleh penyair. Berikut ini adalah penggalan puisi berjudul “Roller Coaster, Sejauh Mana Dapat Terlihat?” yang menunjukkan hal tersebut.

“Sejauh mana dapat terlihat? Sejauh mana tidak dapat terlihat?

Siapa berada di seberang sana? Adakah lubuk laut? Adakah langit di semesta?

Kau tidak sedang memunggungi kami dan bumi ini, kan? Apakah kamu mengintai hal yang lain?” (“Roller Coaster, Sejauh Mana Dapat Terlihat”, Ryeol, hal. 86).

             Dari apa yang telah kita bahas, maka dapat kita ketahui bahwa buku antologi puisi “Ikan Adalah Pertapa” merupakan buku yang banyak menggambarkan tentang renungan-renungan kehidupan melalui perasaan seperti gelisah, putus asa, penderitaan, hilang arah, kehilangan dalam sebuah kehidupan. Renungan tersebut digambarkan secara apik oleh Ko Hyeong Ryeol dengan menggunakan diksi konotatif yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, dalam buku antalogi puisi ini juga Ko Hyeong Ryeol banyak memasukkan diksi-diksi tentang pergantingan musim, seperti contohnya adalah pergantian dari musim salju, ke musim semi.

             Buku antologi puisi “Ikan Adalah Pertapa” ini merupakan suatau bacaan yang bagus untuk kita merenungi lagi tentang arti sebuah kehidupan, terlebih lagi pengarang buku ini bukanlah orang sembarangan. Ko Hyeong Ryeol adalah penyair yang sudah banyak mendapatkan penghargaanm, begitupun dengan para penerjemah buku ini yang juga bukan orang sembarangan. Namun dibalik semua itu, buku ini juga masih memiliki kelemahan. Seperti apa yang telah dibahas sebelumnya, karena buku antologi puisi ini merupakan kumpulan puisi dwi-bahasa (Korea-Indonesia). Untuk itu, mungkin ada beberapa bagian di mana pembaca Indonesia akan kurang relevan dengan tempat-tempat yang disebutkan oleh penyair di beberapa puisinya. Meski kita mungkin tidak bisa membayangkannya secara langsung, tetapi sudah ada keterangan singkat mengenai tempat-tempat tersebut yang tertulis dalam buku. Hal ini mungkin akan sedikit membantu pembaca dari Indonesia untuk dapat lebih memahami puisinya.

(Yasya Silmi Ramadhan, Mahasiswi Jurusan

Bahasa dan Sastra Indonesia FPBSI UPI Bandung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun