"Kalau saja kita bisa mengulang waktu," ujar Tari pelan, suaranya tenggelam di antara denting sendok yang membentur gelas kopi. Ia menatap ke luar jendela kafe, menelusuri tetesan hujan yang mengalir di kaca, seakan mencari sesuatu yang hilang di luar sana.
Wira menyesap kopinya, memikirkan apa yang harus dikatakan. Dia tidak pernah menyukai percakapan seperti ini---percakapan yang mengangkat kenangan lama, kenangan yang lebih baik dibiarkan tertidur.
"Tapi kita tidak bisa, kan?" balasnya, lebih terdengar seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
Tari tersenyum tipis, tapi tidak sampai ke matanya. "Kamu masih seperti dulu, selalu logis."
Dan kamu masih suka menghindari kenyataan, pikir Wira, tapi dia memilih untuk tidak mengatakannya. "Hujannya makin deras. Mau kuantar pulang nanti?"
"Tak perlu," jawab Tari singkat. Lalu, setelah jeda yang panjang, ia melanjutkan, "Wira, kenapa kita berakhir seperti itu dulu?"
Wira menarik napas panjang. Pertanyaan itu, meskipun sederhana, menyimpan beban berat di dalamnya. "Kita terlalu sibuk menjadi diri kita sendiri," jawabnya. "Aku dengan ambisiku, kamu dengan mimpimu. Tidak ada ruang untuk saling memahami."
Tari tertawa kecil, nada getir menyelinap di ujungnya. "Aku kira kamu akan menyalahkanku."
"Apa gunanya?" Wira menatap langsung ke matanya. "Kita sudah selesai, Tari. Menyalahkan siapa pun tidak akan mengubah apa-apa."
Wira ingat dengan jelas bagaimana semuanya dimulai. Pertemuan pertama mereka di perpustakaan kampus, percakapan panjang yang mengalir tanpa henti, hingga akhirnya mereka memutuskan berjalan bersama. Saat itu, semuanya terasa begitu mudah, begitu indah.
Namun, hubungan mereka mulai retak ketika ambisi masing-masing menguasai segalanya. Wira sibuk mengejar kariernya, dan Tari, dengan semangat seni yang membara, terus terbang lebih tinggi ke dunianya.