Dia mengangkat bahu. "Indah, tapi dingin. Tidak ada cerita di baliknya."
Mungkin dia benar. Atau mungkin ini hanya soal waktu sebelum kita belajar menghargai seni yang dihasilkan mesin.
Bagaimana Kita Harus Menyikapi?
Ketika teknologi semakin canggih, aku merasa ada dua pilihan. Pertama, kita bisa menolak dan berusaha mempertahankan cara lama. Kedua, kita bisa beradaptasi dan mencari cara untuk hidup berdampingan dengan AI.
Tapi, apakah itu mudah? Tidak selalu.
"Apa yang paling kamu takutkan dari AI?" tanyaku pada seorang kenalan yang bekerja di bidang teknologi.
Dia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Bukan teknologinya, tapi manusianya. Bagaimana kita menggunakan AI, itu yang akan menentukan apakah ini menjadi berkah atau bencana."
Jawabannya membuatku berpikir. Mungkin masalahnya bukan pada AI, tapi pada bagaimana kita memanfaatkannya. Jika kita bijak, AI bisa menjadi alat yang memperkuat hubungan sosial, bukan merusaknya.
Namun, jika kita terlalu bergantung pada teknologi ini, apa yang akan terjadi? Apakah kita akhirnya kehilangan esensi dari menjadi manusia? Atau, apakah ini hanya kekhawatiran berlebihan yang akan hilang seiring waktu?
Pertanyaan ini terus terngiang di pikiranku. Dan aku yakin, kita semua perlu mulai memikirkannya. Sebelum teknologi benar-benar mengambil alih lebih banyak ruang dalam hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H