"Apa jadinya kalau kita lebih sering bicara dengan mesin daripada dengan manusia?" tanyaku pada seorang teman suatu malam.
Dia tertawa kecil, lalu menjawab, "Mungkin kita sedang menuju ke sana. Siapa tahu, nanti AI malah jadi sahabat terbaik."
Percakapan itu terkesan sepele, tapi membekas di pikiranku. Teknologi kecerdasan buatan atau AI kini merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk interaksi sosial. Kita semakin sering melihat AI menjadi "pendengar" atau "konsultan" dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, apakah ini benar-benar membantu, atau justru menjadi alarm bahaya bagi kemanusiaan?
AI dan Hubungan Sosial yang Semakin Digital
Aku mencoba membayangkan skenario sederhana. Katakanlah, kamu pulang kerja, lelah, dan ingin berbicara dengan seseorang. Tapi tidak ada siapa-siapa. Maka, kamu membuka aplikasi chatbot AI yang dirancang untuk mendengar keluh kesah. Dalam beberapa menit, kamu merasa lega karena ada yang "mendengarkan."
Tapi, apakah ini benar-benar sehat? Mungkin iya, mungkin tidak. Di satu sisi, AI bisa menjadi pelarian di saat tidak ada orang yang bisa diajak bicara. Namun, apakah itu cukup?
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi nyata. Nada suara, ekspresi wajah, bahkan keheningan di tengah obrolan, semua itu tak bisa digantikan oleh AI. Bayangkan jika kita semakin sering mengandalkan teknologi untuk berbicara, apakah kita perlahan kehilangan kemampuan berempati?
Aku jadi bertanya-tanya, apakah AI sebenarnya membantu menyembuhkan kesepian, atau justru membuat kita semakin terisolasi?
AI sebagai Pendukung Kesehatan Mental
Dalam beberapa tahun terakhir, AI mulai digunakan sebagai alat dalam terapi kesehatan mental. Beberapa aplikasi memungkinkan pengguna berbicara dengan chatbot yang dirancang untuk membantu mengatasi kecemasan atau stres.
"Kadang aku merasa lebih nyaman bicara dengan chatbot," ujar seorang teman yang pernah mencoba layanan seperti itu. "AI tidak menghakimi, dan selalu punya waktu untuk mendengar."