Sebuah pesan muncul di layar ponselku.
Mayra: "Kamu baik-baik saja?"
Aku mengetik balasan singkat: "Iya." Tapi sebenarnya, aku tidak tahu apa itu benar.
Aku membuka aplikasi pemutar musik, berharap nada-nada bisa mengalihkan pikiranku. Tapi yang kudengar justru lagu yang dulu sering kami nyanyikan bersama. Liriknya seperti sindiran, mengingatkanku bahwa aku masih terjebak dalam asumsiku sendiri.
---
Keesokan harinya, aku kembali ke kafe yang sama. Tempat itu mulai terasa seperti pelarian kecilku dari realitas. Kali ini, Mayra tidak ada. Hanya aku, secangkir teh yang sudah dingin, dan buku catatan yang sejak tadi kubiarkan kosong.
Aku menulis sesuatu:
"Semenjak hari itu, tak sedikit yang mencoba mendekatiku. Tapi semuanya sia-sia. Karena setiap kali aku mencoba memulai kisah baru, rasanya seperti aku mengkhianatinya. Mengkhianati kenangan yang aku peluk terlalu erat."
Aku menutup buku itu cepat-cepat. Tidak ada gunanya mengulang rasa yang sama.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Aku mengangkat kepala, dan di sana dia berdiri. Dia. Seseorang yang seharusnya sudah kubiarkan pergi.
"Kau di sini?" tanyanya pelan, hampir ragu.