Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semuanya Asumsimu

1 Januari 2025   16:53 Diperbarui: 1 Januari 2025   16:53 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada yang aneh dengan waktu. Terkadang, ia terasa begitu lambat, seakan sengaja memperpanjang penderitaan. Di lain waktu, ia melesat cepat tanpa memberi ruang untuk bernapas. Seperti hidupku akhir-akhir ini, penuh jeda yang panjang namun tanpa arah.

Langit sore itu mendung, tapi hujan tak kunjung turun. Awan-awan kelabu menggantung, menggambarkan perasaanku yang serupa: berat dan kelam. Di seberang kafe kecil tempatku duduk, sebuah pohon flamboyan menjatuhkan bunga-bunganya. Aku memandangi guguran itu sambil bertanya-tanya, apa rasanya menjadi sesuatu yang dibiarkan jatuh tanpa makna?

---

"Aku tidak mengerti kenapa kamu masih di sini," suara Mayra, sahabatku, terdengar di sela-sela bunyi sendok yang beradu dengan cangkir kopi.

Aku menoleh pelan. "Apa maksudmu?"

Mayra mendesah. "Kamu bilang sudah selesai, tapi kamu terus membahasnya. Terus memikirkannya. Kalau kamu memang ingin lupa, kenapa nggak benar-benar pergi dari masa lalu itu?"

Aku tersenyum tipis. Bukan senyuman bahagia, melainkan semacam refleks untuk menutupi perasaan. "Karena dia masih ada di sini." Aku menunjuk kepalaku. "Dan di sini." Tanganku berpindah ke dada.

Mayra menggeleng pelan, entah karena lelah atau kasihan. "Kamu tahu dia sudah bahagia dengan hidupnya yang baru, kan?"

Tentu saja aku tahu. Berita itu sudah lama sampai di telingaku, meskipun bukan dari mulutnya sendiri. Aku bahkan pernah melihat fotonya di media sosial, menggenggam tangan seseorang yang kini menggantikan tempatku. Aku tahu semuanya, tapi pengetahuan itu justru menambah perih.

---

Malam itu, seperti biasa, pikiranku melayang pada kenangan-kenangan yang seharusnya sudah aku lupakan. Suaranya, tawanya, bahkan cara dia menyebut namaku dengan nada yang khas. Semua itu muncul seperti film yang diputar ulang tanpa henti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun