Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Harimau Putih

16 Desember 2024   02:58 Diperbarui: 16 Desember 2024   02:58 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hutan itu sunyi, seakan tengah menahan napasnya. Dari balik pepohonan lebat, air terjun memecah keheningan dengan suara deras yang terus mengalir---abadi. Namun, tak ada yang benar-benar abadi. Sundaya tahu itu. Di sinilah ia sekarang, duduk di atas batu datar dengan kaki bersila. Tangan kanannya menggenggam sebuah kujang tua, bilahnya berkarat namun tetap tajam. Kujang itu diwariskan dari ayahnya---sebuah pusaka keluarga yang diyakini punya roh sendiri.

Tapi untuk apa?

Tatapan Sundaya kosong. Ia menatap ujung bilah kujang itu seakan mencari jawaban di balik kilaunya yang redup. "Hanya besi tua..." gumamnya, hampir berbisik. Namun, saat kalimat itu meluncur, udara di sekelilingnya seolah bergetar. Hutan yang tadinya diam mendadak terasa hidup. Daun-daun berdesir, angin bertiup dari arah yang tak ia pahami.

"Jangan kau meremehkan warisan itu, Sundaya..."

Sundaya tersentak. Suara itu datang dari mana? Dengan cepat, ia menoleh ke kiri dan kanan, namun tak ada siapa-siapa. Tubuhnya menegang.

Kemudian ia melihatnya. Seekor harimau putih.

Bulu harimau itu berkilauan bak kabut yang memantulkan cahaya bulan. Matanya, dua bola emas yang bersinar lembut namun tajam. Sang harimau duduk anggun di antara semak-semak, seolah sudah lama menunggunya.

Sundaya menelan ludah. "Kau... siapa?" tanyanya terbata. Tangannya refleks menggenggam kujang lebih erat.

Sang harimau memiringkan kepalanya, suaranya bergetar rendah seperti bisikan leluhur, "Aku adalah penjaga tempat ini. Roh yang sudah ada sejak tanah ini diberkati dan dihunikan. Kami memandangmu, Sundaya. Melihat betapa kau mulai meragukan warisan leluhurmu."

"Apa maksudmu?" Sundaya berusaha menegaskan suaranya meski dadanya bergemuruh. "Aku hanya... merasa semua ini sia-sia. Lihat saja sekeliling! Pohon-pohon ditebang, sungai-sungai keruh, hewan-hewan kehilangan tempatnya. Apa yang bisa kujang ini lakukan? Itu hanya besi tua!"

Kata-kata itu menusuk udara, tapi sang harimau tidak bergerak. Ia menatap Sundaya dalam-dalam, seolah membaca keresahan di hatinya.

"Jika hanya besi tua, kenapa kau membawanya sejauh ini?" tanya sang harimau. Suaranya lembut, namun penuh tekanan. "Kujang itu bukan benda mati, Sundaya. Ia adalah janji. Janji leluhurmu untuk menjaga keseimbangan tanah ini. Janji yang kau mulai ragukan."

Sundaya tertunduk. Benarkah ia telah meragukan warisan leluhurnya? Namun siapa yang bisa menyalahkannya? Ketika ia kecil, hutan ini luas dan hijau. Ia bisa mendengar suara kicauan burung yang bersahut-sahutan, suara monyet di kejauhan, dan serangga yang tak pernah tidur. Sekarang, bahkan suara-suara itu pun perlahan menghilang. Yang ada hanya suara mesin gergaji dari kampung sebelah.

"Apa gunanya janji itu jika manusia lain tak peduli?" Sundaya mengangkat wajahnya, kali ini suaranya lebih bergetar. "Mereka mengejar emas, kayu, dan tanah tanpa berpikir panjang. Aku ini apa? Hanya satu orang. Aku tak punya kuasa menghentikan mereka."

Sang harimau bangkit perlahan. Tubuhnya yang besar membuat semak-semak di sekitarnya bergoyang. "Kau benar. Kau hanya satu orang. Tapi tidakkah kau tahu, perubahan besar selalu dimulai dari satu langkah kecil? Leluhurmu tahu itu. Mereka memulai dari tanah ini---dari hutan ini."

Sundaya diam. Hatinya mulai berkecamuk. "Tapi..." katanya pelan, "aku takut. Takut gagal. Takut menjadi lelucon. Apa gunanya aku memulai jika tak ada yang mendengarkan?"

"Kau berbicara tentang takut," sang harimau memotongnya. "Padahal, bukan takut yang kau rasakan, tapi keraguan. Kau meragukan dirimu sendiri, bukan?"

Sundaya tak mampu menjawab. Ya, mungkin itulah yang ia rasakan---keraguan. Sejak kecil, ayahnya selalu bercerita tentang para leluhur yang menjaga alam ini. Kujang yang ia pegang sekarang, dulunya adalah simbol dari sumpah mereka. Namun, zaman berubah. Manusia semakin serakah. Dan di tengah dunia yang penuh keserakahan, bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya bisa melawan?

Harimau putih itu kini mendekat. Wajahnya hanya beberapa jengkal dari wajah Sundaya. "Sundaya," katanya pelan, "kau bukan satu-satunya. Kami selalu ada. Setiap pohon yang kau tanam, setiap sungai yang kau bersihkan, setiap kata yang kau ucapkan untuk menyadarkan orang lain---itu adalah peperanganmu. Tak ada janji yang sia-sia jika kau memiliki keberanian untuk memulai."

Sundaya menatap mata sang harimau---mata yang seperti lautan luas, penuh kebijaksanaan. Kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya. "Lalu... harus bagaimana aku memulainya?"

"Lakukan satu hal," jawab sang harimau tegas. "Buka matamu. Lihat hutan ini bukan sebagai sesuatu yang akan mati, tapi sebagai sesuatu yang harus kau hidupkan kembali. Jadikan kujang itu bagian darimu, bukan sekadar pusaka."

Perlahan, sang harimau mundur. Sosoknya mulai memudar seperti kabut pagi yang tertiup angin. "Ingat, Sundaya. Kami, para leluhur, akan selalu bersamamu. Jalan ini mungkin berat, tapi bukan berarti tak bisa kau tempuh."

Angin berhembus pelan. Daun-daun berbisik seolah ikut mengamini kata-kata sang harimau. Sundaya memejamkan matanya sejenak. Napasnya bergetar.

Saat ia membuka mata, sang harimau telah hilang. Yang tersisa hanya suara air terjun dan desir angin di telinganya.

Sundaya bangkit berdiri. Tangannya menggenggam kujang dengan lebih erat---lebih mantap. Untuk pertama kalinya, ia merasa bilah itu hidup di tangannya, seolah ikut bernafas bersama dirinya.

Langkahnya terasa lebih ringan ketika ia berjalan menuju kampung. Jalan di depannya masih panjang dan ia belum tahu harus berbuat apa. Namun, ada satu hal yang ia yakini---ia akan memulai. Pohon pertama akan ia tanam. Kata pertama akan ia ucapkan.

Di kejauhan, suara kicauan burung yang samar-samar mulai terdengar lagi, seolah memberi tanda bahwa hutan belum sepenuhnya menyerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun