Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Harimau Putih

16 Desember 2024   02:58 Diperbarui: 16 Desember 2024   02:58 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika hanya besi tua, kenapa kau membawanya sejauh ini?" tanya sang harimau. Suaranya lembut, namun penuh tekanan. "Kujang itu bukan benda mati, Sundaya. Ia adalah janji. Janji leluhurmu untuk menjaga keseimbangan tanah ini. Janji yang kau mulai ragukan."

Sundaya tertunduk. Benarkah ia telah meragukan warisan leluhurnya? Namun siapa yang bisa menyalahkannya? Ketika ia kecil, hutan ini luas dan hijau. Ia bisa mendengar suara kicauan burung yang bersahut-sahutan, suara monyet di kejauhan, dan serangga yang tak pernah tidur. Sekarang, bahkan suara-suara itu pun perlahan menghilang. Yang ada hanya suara mesin gergaji dari kampung sebelah.

"Apa gunanya janji itu jika manusia lain tak peduli?" Sundaya mengangkat wajahnya, kali ini suaranya lebih bergetar. "Mereka mengejar emas, kayu, dan tanah tanpa berpikir panjang. Aku ini apa? Hanya satu orang. Aku tak punya kuasa menghentikan mereka."

Sang harimau bangkit perlahan. Tubuhnya yang besar membuat semak-semak di sekitarnya bergoyang. "Kau benar. Kau hanya satu orang. Tapi tidakkah kau tahu, perubahan besar selalu dimulai dari satu langkah kecil? Leluhurmu tahu itu. Mereka memulai dari tanah ini---dari hutan ini."

Sundaya diam. Hatinya mulai berkecamuk. "Tapi..." katanya pelan, "aku takut. Takut gagal. Takut menjadi lelucon. Apa gunanya aku memulai jika tak ada yang mendengarkan?"

"Kau berbicara tentang takut," sang harimau memotongnya. "Padahal, bukan takut yang kau rasakan, tapi keraguan. Kau meragukan dirimu sendiri, bukan?"

Sundaya tak mampu menjawab. Ya, mungkin itulah yang ia rasakan---keraguan. Sejak kecil, ayahnya selalu bercerita tentang para leluhur yang menjaga alam ini. Kujang yang ia pegang sekarang, dulunya adalah simbol dari sumpah mereka. Namun, zaman berubah. Manusia semakin serakah. Dan di tengah dunia yang penuh keserakahan, bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya bisa melawan?

Harimau putih itu kini mendekat. Wajahnya hanya beberapa jengkal dari wajah Sundaya. "Sundaya," katanya pelan, "kau bukan satu-satunya. Kami selalu ada. Setiap pohon yang kau tanam, setiap sungai yang kau bersihkan, setiap kata yang kau ucapkan untuk menyadarkan orang lain---itu adalah peperanganmu. Tak ada janji yang sia-sia jika kau memiliki keberanian untuk memulai."

Sundaya menatap mata sang harimau---mata yang seperti lautan luas, penuh kebijaksanaan. Kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya. "Lalu... harus bagaimana aku memulainya?"

"Lakukan satu hal," jawab sang harimau tegas. "Buka matamu. Lihat hutan ini bukan sebagai sesuatu yang akan mati, tapi sebagai sesuatu yang harus kau hidupkan kembali. Jadikan kujang itu bagian darimu, bukan sekadar pusaka."

Perlahan, sang harimau mundur. Sosoknya mulai memudar seperti kabut pagi yang tertiup angin. "Ingat, Sundaya. Kami, para leluhur, akan selalu bersamamu. Jalan ini mungkin berat, tapi bukan berarti tak bisa kau tempuh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun