Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tantangan Kelas Menengah: Di Tengah Dua Generasi, Terjebak Dilema

21 September 2024   05:59 Diperbarui: 21 September 2024   08:34 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Generasi sandwich---sebutan yang tepat untuk mereka yang terjepit antara dua kutub kehidupan: orang tua yang menua dan anak-anak yang masih membutuhkan perhatian. Namun, apakah itu saja tantangan yang mereka hadapi? Ternyata tidak sesederhana itu. Beban mereka melampaui sekadar memikirkan biaya pendidikan anak atau perawatan orang tua. Mari kita selami lebih dalam---apakah ada cara untuk keluar dari jeratan ini tanpa terluka terlalu parah?

Jika kita kaitkan dengan realitas kelas menengah di Indonesia, banyak yang melihat kelompok ini sebagai golongan yang "cukup." Namun, kenyataannya, mereka sering terjebak dalam berbagai paradoks. Pendapatan mereka mungkin lebih tinggi dari kelas bawah, tetapi tekanan untuk menjaga standar hidup, seperti cicilan rumah, pendidikan anak, dan memenuhi ekspektasi sosial, menempatkan mereka dalam "gelembung ilusi kemapanan."

Generasi sandwich lahir dari tekanan yang dialami kelas menengah ini. Mereka menjadi tulang punggung keluarga, memikul tanggung jawab tidak hanya untuk kehidupan pribadi tetapi juga bagi generasi di atas dan di bawah mereka. Orang tua mereka membutuhkan perhatian ekstra seiring bertambahnya usia, sementara di sisi lain, anak-anak mereka juga memerlukan dukungan, terutama dalam pendidikan, semuanya dalam situasi keuangan yang kerap rapuh.

Tantangan yang mereka hadapi tidak hanya satu, melainkan dua sekaligus: orang tua yang semakin bergantung dan anak-anak yang belum mandiri. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 2022, sebanyak 67% responden merasa terjebak dalam posisi ini, yang setara dengan sekitar 56 juta orang Indonesia. Ini menunjukkan bahwa fenomena ini bukan masalah individu semata, melainkan gejala sosial yang lebih luas.

Dari sisi finansial, penghasilan generasi ini terbagi ke berbagai kebutuhan. Pendapatan yang seharusnya bisa digunakan untuk menabung atau berinvestasi malah terkuras untuk kebutuhan sehari-hari, cicilan rumah, pendidikan anak, hingga biaya perawatan orang tua. Banyak yang akhirnya harus mengambil jalan pintas---seperti menjual aset atau berutang---untuk memenuhi semua tanggung jawab tersebut, sambil tetap berusaha terlihat "mapan" di mata masyarakat. Padahal, kenyataannya, posisi finansial mereka jauh lebih rapuh daripada yang terlihat.

Dampak dari situasi ini tidak hanya terasa di aspek keuangan, tetapi juga kesehatan mental. Sebuah survei lain menunjukkan bahwa 39,13% responden merasa tekanan sebagai generasi sandwich mempengaruhi kondisi mental mereka, dan 19,89% di antaranya mengakui dampaknya sangat besar. Tekanan ini bukan hanya tentang angka, tetapi juga bagaimana mereka menghadapi realitas hidup yang terus menghimpit, tanpa jalan keluar yang jelas.

Jika keuangan adalah satu sisi koin, tekanan emosional adalah sisi lainnya. Generasi ini bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga penopang emosi bagi dua generasi lainnya. Mereka harus mendukung orang tua yang kondisinya menurun, sementara juga menjadi pembimbing bagi anak-anak yang sangat membutuhkan perhatian. Di tengah semua itu, mereka kerap merasa terjebak, terus memberi tanpa banyak mendapatkan dukungan.

Komunikasi dalam keluarga sering kali menjadi tegang. Orang tua mungkin enggan menerima bantuan karena tidak ingin dianggap sebagai beban, sementara anak-anak, terutama di masa remaja, bisa sangat menuntut tanpa memahami kondisi sebenarnya. Hal ini menyebabkan komunikasi dalam keluarga terganggu. Alih-alih membicarakan masalahnya, banyak dari generasi sandwich memilih diam, merasa bahwa tanggung jawab ini harus mereka pikul sendiri.

Ironisnya, kondisi ini sangat akrab bagi kelas menengah Indonesia. Mereka tumbuh dalam budaya yang mengutamakan harmoni keluarga, meskipun harus mengorbankan perasaan pribadi. Namun, tekanan yang terus-menerus seperti ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Para psikolog menyatakan bahwa beban semacam ini bisa memicu masalah kesehatan mental serius, seperti kecemasan dan depresi. Akibatnya, produktivitas kerja menurun, kualitas hidup terganggu, dan hubungan dalam keluarga semakin rumit.

Adakah solusi bagi mereka yang terjebak di antara dua generasi ini? Sebagai bagian dari kelas menengah, solusi yang ditawarkan sering berkaitan dengan pengelolaan keuangan. Perencanaan keuangan jangka panjang, seperti investasi dan asuransi, dapat meringankan beban finansial. Memisahkan kebutuhan primer dari sekunder, mengurangi gaya hidup konsumtif, dan mencari pendapatan pasif dari investasi juga bisa membantu.

Namun, persoalan generasi sandwich bukan hanya soal keuangan. Dukungan dari pemerintah dan perusahaan juga diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang lebih mendukung, seperti program cuti keluarga atau bantuan finansial untuk perawatan orang tua. Edukasi tentang pengelolaan keuangan dan kesehatan mental juga menjadi semakin krusial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun