Lebih penting lagi, komunikasi yang jujur dan terbuka antara anggota keluarga harus dibangun. Generasi sandwich perlu berbicara dengan orang tua dan anak-anak tentang batasan yang ada, serta ekspektasi yang realistis dari masing-masing pihak. Konselor atau terapis keluarga bisa membantu menjembatani komunikasi yang sulit ini. Kesadaran bahwa mereka tidak bisa memikul semuanya sendiri mungkin adalah langkah pertama menuju solusi.
Pertanyaan yang lebih besar adalah: apakah generasi sandwich ini akan terus berulang? Melihat kondisi ekonomi yang semakin sulit, terutama bagi kelas menengah, tidak mustahil generasi berikutnya---anak-anak dari generasi sandwich---akan menghadapi tantangan yang sama. Mereka mungkin tumbuh dengan harapan yang lebih besar, namun kenyataan yang tetap menghimpit.
Keluarga modern di Indonesia semakin kompleks, dengan harapan tinggi dari kedua belah pihak, tetapi sumber daya yang terbatas. Tanpa perubahan struktural di bidang kebijakan sosial maupun ekonomi, generasi sandwich tampaknya akan terus menjadi fenomena yang berulang. Kelas menengah mungkin terus berada dalam lingkaran ini, menjadi penopang bagi generasi di atas dan di bawah mereka, dengan sedikit kesempatan untuk keluar dari pusaran tersebut.
Namun, satu hal yang tak bisa disangkal adalah ketangguhan generasi ini. Mereka terus bertahan, mencari solusi, baik dengan mengelola keuangan, mencari dukungan emosional, atau sekadar mencoba untuk tetap bertahan. Di tengah beban berat yang mereka pikul, mereka mungkin masih bisa tersenyum, sadar bahwa mereka adalah jembatan kuat yang menghubungkan dua generasi, dengan harapan generasi berikutnya dapat menghadapi tantangan ini dengan cara yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H