Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Peran Orang Tua: Masalah Sama, Penyelesaian Berbeda

20 September 2024   21:48 Diperbarui: 21 September 2024   03:35 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang tua hadir. Itu kalimat yang terdengar klise, ya? Tapi, pertanyaannya, hadir yang seperti apa? Sekadar fisik duduk di meja makan atau benar-benar hadir dalam arti emosional? Nah, di sinilah sering kali letak masalahnya. Anak merasa orang tua tidak hadir, sementara orang tua merasa sudah maksimal memberikan semuanya. Konflik pun tak terelakkan. Saya sendiri pernah merasakannya. Masalahnya mungkin sama: komunikasi yang buntu, jarak yang makin terasa. Namun, percayalah, penyelesaiannya pasti berbeda untuk setiap keluarga.

Dalam pengalaman pribadi, ketika terjebak dalam konflik dengan anak, seringkali saya merasa menjadi orang tua yang gagal. Tapi, setelah mencoba memahami lebih dalam, ternyata bukan soal benar atau salah, melainkan soal cara kita hadir. Dan dari situlah saya mulai menemukan beberapa hal yang ternyata mampu mendekatkan hubungan orang tua dengan anak. 

Ini bukan soal tips ajaib yang langsung manjur, tapi lebih ke perjalanan kecil yang penuh dengan percobaan, kegagalan, dan tentunya harapan.

1. Mendengarkan, bukan sekedar mendengar

Berapa kali kita berpura-pura mendengarkan anak, tapi pikiran kita melayang ke tempat lain? Mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan atau urusan sehari-hari. Ini seringkali jadi sumber masalah. Anak merasa tidak dihargai, orang tua merasa sudah melakukan yang terbaik. Pernah dengar cerita klasik: anak berbicara tapi orang tua hanya mengangguk tanpa benar-benar memahami? Akhirnya, jarak emosional semakin lebar.

Solusinya sederhana, tapi sulit dilakukan: mendengarkan dengan sepenuh hati. Mendengarkan bukan sekadar membiarkan suara mereka masuk ke telinga kita, tapi memberikan perhatian penuh. Saya ingat suatu kali anak saya marah karena hal sepele menurut saya, tetapi ternyata, ketika saya benar-benar mendengarkannya, masalahnya lebih dalam. Mereka butuh didengar tanpa disela, tanpa dihakimi. Kadang, orang tua perlu melepaskan kebiasaan untuk selalu menjadi 'penyelesai masalah' dan cukup mendengar apa yang ingin mereka sampaikan.

2. Waktu kualitas, bukan kuantitas

Orang tua sering beranggapan bahwa yang penting adalah menyediakan banyak waktu bersama anak. Padahal, yang sebenarnya lebih berharga adalah kualitas dari waktu tersebut. Mungkin kamu pernah berpikir, "Sudah tiap hari ketemu, kok, tapi rasanya tetap jauh." Itu mungkin karena waktu yang dihabiskan bersama anak bukanlah waktu yang berkualitas.

Pengalaman saya mengajarkan bahwa waktu berkualitas bukan soal berapa jam yang dihabiskan bersama, melainkan apa yang kita lakukan selama waktu itu. Bukan berarti kita harus merancang aktivitas yang rumit, cukup hal-hal sederhana seperti makan malam bersama tanpa gangguan ponsel, menonton film bersama, atau sekadar berbicara dari hati ke hati. Ini tentang momen-momen di mana kita benar-benar terhubung dengan mereka.

3. Belajar menyesuaikan diri dengan generasi mereka


Ini klise, tapi memang benar. Perbedaan generasi adalah sumber konflik yang tak bisa dihindari. Orang tua sering merasa anak-anak terlalu bergantung pada teknologi, terlalu cepat marah, atau kurang sopan. Sementara anak-anak merasa orang tua terlalu kuno, tidak memahami dunia mereka. Saya juga pernah terjebak dalam perang teknologi ini. Apalagi ketika anak lebih memilih berbicara lewat layar daripada berbicara langsung.

Tapi, daripada berkeras menolak perubahan, kenapa tidak mencoba memahaminya? Saya pernah mencoba mendekati anak saya dengan mengikuti minat mereka bermain game, media sosial, atau apa pun yang sedang tren di kalangan mereka. Awalnya terasa aneh, tapi lama-lama hubungan kami menjadi lebih dekat karena saya menunjukkan bahwa saya peduli dengan dunia mereka. Sekarang, bukannya berjarak, kami justru sering bermain game bersama atau berdiskusi soal tren terbaru.

Memang, ini bukan soal kita menjadi seperti mereka, tapi mencoba memahami dan berkomunikasi di dunia yang mereka kenal.

4. Memberikan ruang untuk gagal 

Sebagai orang tua, kita seringkali ingin melindungi anak dari segala bentuk kesalahan. "Jangan begini, jangan begitu," mungkin sudah jadi kalimat sehari-hari. Tapi, justru di sinilah kita sering salah. Anak butuh ruang untuk belajar dari kesalahan mereka sendiri. Mereka perlu merasakan gagal untuk bisa tumbuh.

Saya ingat ketika anak saya gagal dalam sesuatu yang menurut saya tidak penting seperti tugas sekolah yang mungkin hanya bernilai kecil. Saya hampir saja langsung turun tangan untuk membantunya, tapi kemudian saya memilih mundur sejenak. Biarkan mereka gagal, biarkan mereka belajar dari kesalahan. Tidak mudah, memang. Naluri orang tua selalu ingin menyelamatkan, tapi memberi ruang untuk gagal adalah cara kita hadir dan mendukung tanpa terlalu mendikte.

5. Jadi contoh, bukan sekedar penasehat

Anak tidak hanya mendengar apa yang kita katakan, tapi juga memperhatikan apa yang kita lakukan. Mereka belajar dari tindakan kita, bukan hanya dari nasihat-nasihat bijak yang kita lontarkan. Ketika orang tua menuntut anak untuk lebih sabar, tetapi mereka sendiri mudah marah, maka jangan harap anak akan belajar dari apa yang kita katakan.

Menjadi contoh yang baik tidak berarti harus sempurna. Saya sendiri sering merasa tidak selalu bisa menjadi orang tua yang ideal. Tapi, ketika anak melihat kita berusaha untuk memperbaiki diri, itu sudah cukup. Mereka akan mengerti bahwa tidak ada yang sempurna, tapi usaha untuk menjadi lebih baik itu penting.

6. Terbuka dengan emosi sendiri

Orang tua sering berusaha menyembunyikan perasaan mereka dari anak, terutama ketika sedang kesal atau lelah. Alasannya, tentu saja, agar anak tidak khawatir atau merasa terbebani. Tapi, ini justru menciptakan jarak. Anak butuh melihat sisi manusiawi dari orang tua mereka. Tidak ada salahnya menunjukkan bahwa kita juga bisa merasa sedih, marah, atau lelah.

Dalam pengalaman saya, berbagi emosi dengan anak justru mendekatkan hubungan. Bukan berarti kita harus membebani mereka dengan masalah-masalah kita, tapi menunjukkan bahwa kita juga manusia yang bisa merasakan emosi yang sama. Anak akan merasa lebih terhubung ketika mereka tahu bahwa perasaan mereka bukan sesuatu yang asing bagi orang tuanya.

Membangun hubungan yang dekat dengan anak dan memastikan peran kita sebagai orang tua benar-benar hadir bukanlah tugas sekali jadi. Ini adalah proses panjang yang penuh dengan pasang surut. Masalahnya mungkin sama, tapi setiap keluarga punya jalan penyelesaiannya sendiri. Kuncinya adalah kesabaran, keterbukaan, dan kemauan untuk terus belajar dan berkembang bersama. Karena pada akhirnya, bukan tentang menjadi orang tua yang sempurna, tapi menjadi orang tua yang selalu hadir baik secara fisik maupun emosional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun