Mohon tunggu...
Yassinka Amara Maulinda
Yassinka Amara Maulinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Create Your Own Happiness

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjuangan Media Alternatif Bertahan Di Tengah Pembatasan Pers Yang Ketat Pada Masa Orde Baru

23 Desember 2024   09:30 Diperbarui: 23 Desember 2024   09:30 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 

Masa Orde Baru di Indonesia, yang dimulai pada tahun 1966 dan berakhir pada tahun 1998, merupakan periode yang ditandai oleh stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Dipimpin oleh Presiden Soeharto, rezim ini menerapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menjaga kontrol atas masyarakat dan media. Meskipun berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pembangunan infrastruktur, Masyarakat Indonesia mengalami berbagai tantangan, termasuk pembatasan kebebasan pers dan pengekangan terhadap suara-suara kritis, yang pada akhirnya memicu gerakan reformasi yang mengakhiri era ini.

Masa Orde Baru di Indonesia, dikenal sebagai periode di mana kebebasan pers mengalami pembatasan yang sangat ketat. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pemerintah menerapkan berbagai regulasi dan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan informasi dan membungkam suara-suara kritis. Melalui mekanisme seperti Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan pembredelan media, di tengah situasi ini, munculnya media alternatif menjadi fenomena penting yang mencerminkan kebutuhan masyarakat akan informasi yang lebih beragam dan kritis. Media alternatif, yang sering kali beroperasi di luar jalur resmi dan menghadapi risiko besar, berfungsi sebagai saluran bagi suara-suara yang terpinggirkan dan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Dengan memanfaatkan berbagai platform, seperti majalah, tabloid, dan media cetak independen, para jurnalis dan aktivis berusaha untuk menyampaikan berita yang tidak terjangkau oleh media mainstream yang dikuasai oleh rezim. Keberadaan media alternatif ini tidak hanya memberikan harapan bagi kebebasan berekspresi, tetapi juga berkontribusi pada kesadaran politik masyarakat, yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor pendorong gerakan reformasi yang mengakhiri era Orde Baru. Meskipun banyak media alternatif muncul sebagai respons terhadap pengekangan tersebut, tantangan untuk menyampaikan kebenaran tetap menjadi perjuangan yang berat di tengah pengawasan ketat.

Pemberedelan media di Indonesia pada era Orde Baru merupakan salah satu bentuk kontrol pemerintah yang ketat terhadap kebebasan pers. Banyak media yang dibredel karena dianggap melanggar norma-norma yang ditetapkan pemerintah, termasuk majalah “Tempo” dan harian “Kompas”. Kedua media ini menjadi korban pembredelan karena memberitakan isu-isu yang dianggap sensitif dan kritis terhadap pemerintah, seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Pemberedelan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya suara kritis dalam masyarakat, tetapi juga menciptakan suasana ketakutan di kalangan jurnalis dan wartawan. Selain itu, pemerintah Orde Baru mengeluarkan berbagai regulasi ketat untuk membatasi kemampuan media dalam menyampaikan berita.

Selama masa Orde Baru (1966-1998), regulasi kebebasan pers di Indonesia diatur melalui berbagai undang-undang dan kebijakan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang berakar pada Ketetapan MPRS RI Nomor XXXII/MPRS/1966. Pada awalnya, pemerintah mengklaim memberikan kebebasan pers melalui undang-undang ini, yang menyebutkan bahwa kebebasan pers ditujukan untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, bukan kebebasan yang bersifat liberal. Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini tetap dibatasi, dengan media diwajibkan mengikuti pedoman pemerintah dan dilarang mengkritik rezim yang berkuasa. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas politik dan mengontrol narasi yang berkembang di masyarakat, dengan harapan dapat mempertahankan kekuasaan rezim Orde Baru. Namun, tindakan ini juga memicu perlawanan dari kalangan jurnalis dan aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers dan hak untuk mendapatkan informasi yang akurat dan beragam.

Dalam menghadapi situasi ini, wartawan dan pengelola media alternatif tidak tinggal diam. Mereka melakukan berbagai aksi protes, termasuk demonstrasi di berbagai kota, untuk menuntut kebebasan pers dan menolak pembreidelan. Gerakan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, seniman, dan aktivis, yang bersatu untuk memperjuangkan hak atas informasi dan kebebasan berekspresi. Meskipun banyak media yang terpaksa ditutup, beberapa media alternatif berhasil bertahan dengan mengadopsi strategi peliputan yang lebih kreatif dan berani, meskipun harus beroperasi dalam bayang-bayang ancaman dari pemerintah. Perjuangan ini tidak hanya terbatas pada aksi protes, tetapi juga melibatkan upaya untuk membangun jaringan solidaritas antar media dan organisasi masyarakat sipil. Media alternatif berusaha untuk menciptakan ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan dan memberikan informasi yang lebih beragam kepada publik. Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, keberanian dan ketekunan para jurnalis dan aktivis media alternatif selama masa Orde Baru menjadi fondasi penting bagi kebangkitan kebebasan pers di Indonesia setelah reformasi.

Perjuangan media alternatif di tengah pembatasan pers yang ketat selama masa Orde Baru mencerminkan upaya luar biasa dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang beragam. Di tengah tantangan besar, seperti pengawasan ketat, ancaman pembredelan, dan berbagai bentuk sensor, jurnalis serta penerbit media alternatif menunjukkan keberanian dan kreativitas yang luar biasa. Media alternatif tidak hanya menjadi wadah untuk menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi alat perlawanan yang efektif dalam mengangkat suara-suara kritis yang sering kali dibungkam oleh pemerintah. Melalui strategi distribusi yang cerdas, termasuk jaringan bawah tanah dan penggunaan teknologi sederhana, serta kolaborasi erat dengan organisasi masyarakat sipil, mereka berhasil menciptakan ruang diskusi yang memperkuat solidaritas di kalangan masyarakat. Selain itu, media alternatif memainkan peran penting dalam membangun kesadaran publik mengenai isu-isu sosial, politik, dan hak asasi manusia yang terabaikan. Perjuangan mereka memberikan dampak jangka panjang dengan mewariskan semangat kebebasan pers yang tetap relevan hingga era reformasi. Hingga kini, warisan tersebut mengingatkan kita akan pentingnya keberagaman suara dalam mendukung demokrasi dan melindungi kebebasan berekspresi. Dengan demikian, media alternatif pada masa Orde Baru tidak hanya menjadi saksi perjuangan melawan penindasan, tetapi juga kekuatan pendorong yang membentuk perkembangan pers di Indonesia.

 

REFERENSI:

Budiardjo, Miriam. (1996). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Haryanto, D. (2008). Media dan Kebebasan Pers di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun