Ponsel alias hape kini sudah jadi kebutuhan vital (saya ragu untuk menyebutnya alat vital). Begitu menurut pengamatan sepintas saya. Lihat saja, bagaimana gaya, intensitas, grafik, (atau predikat apalah) orang berponsel saat ini.
Tidak peduli kapan dan di mana saja (mirip slogan). Pokoknya makin malam, makin asyik. Makin malam makin murah, begitu yaa? Tidak peduli di jalan, di tempat makan, di tempat kerja, everywhere deh...pokoknya. (Pokoknya, pokoknya melulu...)
Hari gini ndak bawa hape? Apa kata gayus.... hehe (kok gayus ya?). Rasanya ada "sebahagian" dari diri yang tiada. Begitu maniak sepertinya ya. Setidaknya begitu, sekali lagi, menurut pengamatan sekilas. Lihatlah betapa paniknya kalau gadget ini tak ada di kantong, di tas, atau di sekeliling.
Apa alat ini sudah "alat vital" ya? Entahlah. (Padahal di atas saya tidak mau pakai istilah ini.)Â Â Â Saya sering menegur anak karena alat ini. Sedang makan, pegang stir, tidur, dia krang...kring, atau getar... getir... saja. Dan juga, Apa polisi juga sudah menegur pengendara yang ber-hape sekarang ya? Ini vital kan?
Dengan alat ini, anak saya jadi lebih memerhatikan yang jauh, bukannya orang yang paling dekat dengan dirinya. Begitu seirusnya bersama hape, eh orang di sekelilingnya tak terlalu di pedulikannya. Sepertinya "fenomena" ini banyak terjadi di tempat-tempat umum. Daripada berbasa-basi dengan orang di sekelilingnya, orang lebih nyaman ber-hape ria. Pembaca... apa pengamatan panjenengan begitu juga ya.
Mari kita sedikit bijak dengan alat yang makin canggih ini. Dia tetaplah alat. Alat ya digunakan untuk mencapai sesuatu, bukan tujuan. Jangan sampai alat ini menghalangi eksistensi kita di antara sesama. Maaf ya... kok jadi sok menasihati.
Terima kasih... mari tetap berponsel dengan bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H