Fatwa Haram
Fatwa ulama yang mengharamkannya perayaan dan pengucapan selamat tahun baru berlandaskan kepada hadis Rasulullah SAW yang diriwatkan Imam Ahmad:
Â
Artinya :Â "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari kaum tersebut".
Ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru menganggap ada unsur tasyabbuh atau menyerupai umat-umat Nonmuslim. Karena adat istiadat perayaan tahun baru masehi bukan lahir dari budaya umat Islam. Lebih ekstrim lagi ada Sebagian kelompok bermodalkan hadis ini langsung menganggap kafir umat Islam yang merayakan tahun baru.
Para ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru setidaknya memilik pola piker idealis. Implikasi dari pola pikir idealis dalam beragama biasanya tidak mau menerima dilema antara dua hal negative. Misalnya, pada kenyataanya mayoritas masyarakat Indonesia mearyakan tahun baru, namun karena tahun baru dianggap bukan merupakan kebudayaan Islam dan dapat menjadi jembatan kemaksiatan maka pada akhirnya fatwa haram berlaku bagi segala jenis perbuatan yang menjadi ceremony untuk perayaan tahun baru. Bahkan walaupun kegiatan itu berupa istighosah, dzikir, maupun doa bersama.
Fatwa Mubah (Boleh)
Dari pelbagai literatur dan referensi yang dicari, setidaknya adannya kebolehan dalam merayakan tahun baru selama tidak diisi dengan kegiatan-kegitan buruk, maksiat dan menjurus kepada dosa-dosa. Hal itu senada dengan penyataan dari guru besar al-Azhar sekaligus mufti agung Mesir Syekh Atthyah Shaqr r.a. dalam kompilasi fatwa ulama al-Azhar:
" " " " 1884 1917 . .
Artinya:"Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas 'Karl Fabraj' guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan 'Sham Ennesim' (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan. Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim?
Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." (Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).