Blockchain dalam Rantai Pasokan: Teknologi Masa Depan atau Beban Ekonomi ?
Blockchain telah menjadi salah satu teknologi yang paling banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam konteks rantai pasokan. Teknologi ini menawarkan janji yang besar: transparansi, desentralisasi, dan keamanan data yang tidak dapat dimanipulasi. Dengan berbagai perusahaan dan industri yang mulai menerapkan blockchain, muncul pertanyaan penting apakah teknologi ini benar-benar mampu mengatasi masalah yang kompleks dalam rantai pasokan global, atau justru menjadi sekadar hype tanpa dasar? Artikel yang ditulis oleh Ni et al. (2022) mengkaji potensi dan tantangan adopsi sistem traceability berbasis blockchain (BCTS) di dalam rantai pasokan, menawarkan perspektif kritis mengenai kesenjangan antara harapan dan realitas. Dalam artikel ini, penulis menggunakan pendekatan teori permainan (game theory) untuk menganalisis kapan sebaiknya rantai pasokan berinvestasi dalam teknologi ini.
Berdasarkan data dari artikel tersebut, penerapan BCTS di berbagai sektor masih dalam tahap awal. Hanya 8% dari proyek blockchain di sektor makanan yang telah mencapai tahap integrasi penuh (Ni et al., 2022). Selain itu, meskipun blockchain menawarkan peningkatan transparansi, masih ada tantangan signifikan terkait throughput sistem yang rendah, terutama dalam industri dengan volume transaksi besar. Sebagai contoh, kapasitas transaksi maksimal Bitcoin, salah satu implementasi blockchain paling terkenal, hanya mencapai 7 transaksi per detik (Croman et al., 2016), jauh di bawah kebutuhan operasional rantai pasokan besar yang bisa mencapai ratusan transaksi per detik. Ini menjadi salah satu alasan mengapa adopsi blockchain belum sepenuhnya matang di sektor rantai pasokan.
***
Sistem traceability berbasis blockchain (BCTS) memiliki potensi besar untuk merevolusi rantai pasokan dengan menyediakan solusi desentralisasi dan meningkatkan transparansi. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Ni et al. (2022), tantangan dalam implementasinya tidak dapat diabaikan begitu saja. Salah satu tantangan utama yang dibahas adalah keterbatasan throughput. Dalam konteks rantai pasokan besar, seperti industri makanan atau farmasi, jumlah transaksi yang perlu dilacak bisa mencapai jutaan per hari. Dengan kapasitas blockchain seperti Bitcoin yang hanya mampu memproses 7 transaksi per detik (Croman et al., 2016), adopsi teknologi ini dalam skala besar menjadi tidak efisien dan mahal.
Selain itu, artikel ini juga menunjukkan bahwa meskipun blockchain menawarkan imutabilitas data, tidak semua masalah traceability dapat diselesaikan oleh teknologi ini. Masalah mendasar seperti otentisitas data yang dimasukkan ke dalam blockchain tetap menjadi tantangan. Blockchain hanya bisa mengamankan data yang telah direkam, tetapi jika data yang diunggah tidak akurat sejak awal, sistem ini tidak memberikan jaminan penuh terhadap integritas rantai pasokan. Contohnya adalah kasus NFC (Near Field Communication) chip yang digunakan oleh merek liquor terkenal, Maotai, yang memungkinkan penipuan dengan mendaur ulang chip asli dari botol-botol bekas untuk digunakan pada produk palsu (Ni et al., 2022).
Dari sudut pandang ekonomi, artikel ini juga menyentuh soal biaya investasi yang signifikan. Keputusan untuk mengadopsi BCTS tidak hanya soal manfaat yang diperoleh, tetapi juga tentang kemampuan perusahaan untuk menanggung biaya implementasi. Dalam skenario teori permainan yang disajikan, terlihat bahwa perusahaan cenderung menghindari investasi jika biaya blockchain berada pada tingkat moderat, karena risiko kehilangan pelanggan akibat peningkatan harga produk lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Ini menciptakan apa yang disebut sebagai dilema tahanan (prisoner's dilemma), di mana meskipun semua pihak akan mendapat manfaat dari kolaborasi, mereka justru menahan diri karena takut dirugikan (Ni et al., 2022).
Tidak semua sektor siap untuk menerapkan blockchain. Industri dengan produk bernilai tinggi, seperti barang mewah atau obat-obatan presisi, mungkin lebih sesuai untuk menggunakan BCTS, sementara produk dengan konsumsi massal dan harga rendah, seperti makanan dan minuman, menghadapi tantangan yang lebih besar. Studi ini juga mencatat bahwa sektor-sektor dengan regulasi ketat dan kebutuhan pengawasan publik yang tinggi, seperti farmasi, lebih mungkin mendapatkan keuntungan dari adopsi blockchain, terutama jika dibarengi dengan dukungan pemerintah berupa subsidi atau insentif.
***
Secara keseluruhan, meskipun blockchain memiliki potensi besar untuk meningkatkan keterlacakan dan kolaborasi dalam rantai pasokan, implementasinya masih jauh dari sempurna. Ni et al. (2022) menyoroti bahwa tantangan teknis, seperti throughput rendah dan biaya investasi yang tinggi, menjadi penghalang utama bagi adopsi luas teknologi ini. Selain itu, kesenjangan antara harapan akan imutabilitas dan kenyataan di lapangan, terutama terkait otentisitas data yang dimasukkan ke dalam blockchain, harus menjadi perhatian serius bagi para pelaku industri.
Untuk memaksimalkan manfaat blockchain, perlu adanya dukungan dari pihak eksternal, termasuk regulator dan pemerintah. Dukungan ini dapat berupa insentif finansial untuk mengurangi beban biaya investasi dan mendorong adopsi yang lebih luas, terutama di sektor-sektor yang sangat membutuhkan keterlacakan, seperti farmasi dan makanan. Dengan regulasi yang tepat dan peningkatan dalam teknologi, blockchain dapat menjadi solusi yang nyata bagi rantai pasokan di masa depan. Namun, saat ini, perusahaan perlu mempertimbangkan dengan cermat biaya dan manfaat sebelum terjun ke dalam hype teknologi ini.
REFERENSI
Ni, S., Bai, X., Liang, Y., Pang, Z., & Li, L. (2022). Blockchain-based traceability system for supply chain: Potentials, gaps, applicability and adoption game. Enterprise Information Systems, 16(12), 1908-1937. https://doi.org/10.1080/17517575.2022.2086021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H